بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــمِ.
Sebuah pernyataan
yang memang semestinya terucap dari lisan seorang istri yang tahu ‘kadar’
seorang suami berikut haknya.
Bagaimana tidak,
sementara Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمُرُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةََ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا وَلاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهَا كُلَّهُ حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا عَلَيْهَا كُلَّهَا حَتَّى لَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَىظَهْرِ قَتَبٍ لَأَعْطَتْهُ إِيَّاهُ
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud
kepada orang lain, niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada
suaminya2.
Dan tidaklah seorang istri dapat menunaikan seluruh hak Allah
Subhanahu wa Ta’ala terhadapnya hingga ia menunaikan seluruh hak suaminya.
Sampai-sampai jika suaminya meminta dirinya (mengajaknya jima’)
sementara ia sedang berada di atas pelana (yang dipasang di atas unta) maka ia
harus memberikannya (tidak boleh menolak)”
(HR. Ahmad 4/381.
Dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa`
Al-Ghalil no. 1998 dan Ash-Shahihah no. 3366)
|
Di antara sekian
banyak hak suami,
beberapa di
antaranya dapat kita rinci berikut ini
|
1: Ditaati
dalam selain perkara maksiat.
Suami memiliki hak
terhadap istrinya untuk ditaati dalam seluruh perkara asalkan bukan perkara
maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ
“Hanyalah ketaatan itu dalam perkara yang ma’ruf” (HR. Al-Bukhari no.
7145 dan Muslim no. 4742)
Dan beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memperingatkan:
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala”
(HR. Ahmad 1/131,
dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu dalam syarah
dan catatan kakinya terhadap Musnad Al-Imam Ahmad dan dishahihkan pula dalam
Ash-Shahihah no. 181)
Sehingga bila suami
memerintahkan istrinya untuk berbuat maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
seperti disuruh keluar rumah dengan tabarruj, wajib bagi si istri untuk
menolaknya.
Bila ia menaati
suaminya berarti ia berbuat dosa sebagaimana suaminya berdosa karena telah
memerintahkannya bermaksiat.
Di antara dalil yang
menunjukkan wajibnya istri menaati suaminya adalah adanya perintah dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala agar suami memberikan ‘pengajaran’ kepada istrinya bila ia
enggan untuk taat, dan sebaliknya Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang seorang
suami untuk menyakiti istrinya bila si istri taat kepadanya.
وَاللاَّتِي تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاً
“Dan para istri yang kalian khawatirkan (kalian ketahui dan
yakini) nusyuznya maka hendaklah kalian menasihati mereka, meninggalkan mereka
di tempat tidur, dan memukul mereka. Kemudian jika mereka menaati kalian maka
janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka” (An-Nisa`: 34)
Ayat di atas
menunjukkan, ‘pengajaran’ diberikan kepada istri dikarenakan ia tidak taat
kepada suaminya, yang berarti taat kepada suami itu wajib.
Termasuk taat yang
wajib ditunaikan kepada suami adalah memenuhi panggilan suami ke tempat tidur
serta tidak boleh menolak “hasrat”-nya.
Istri yang menolak
“ajakan” suaminya diancam oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
sabda beliau:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتََهُ إِلَى فِِِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيْءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya
lalu si istri menolak untuk datang maka para malaikat akan melaknatnya sampai
pagi” (HR. Al-Bukhari no. 5194 dan Muslim no. 3524)
Dalam riwayat Muslim
(no. 3525) disebutkan dengan lafadz:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah
seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak
ajakan suaminya melainkan yang di langit (penduduk langit) murka pada istri
tersebut sampai suaminya ridha kepadanya”
Al-Imam An-Nawawi
rahimahullahu berkata,
“Hadits ini merupakan dalil haramnya seorang istri menolak
mendatangi tempat tidur suaminya tanpa ada udzur syar’i.
Dan haid bukanlah udzur untuk menolak panggilan suami karena suami
punya hak untuk istimta’ (bermesraan/bernikmat-nikmat) dengan si istri pada
bagian atas izarnya.
Makna hadits di atas adalah laknat terus menerus diterima si istri
hingga hilang maksiatnya dengan terbitnya fajar sehingga suami tidak
membutuhkannya lagi, atau dengan taubatnya si istri dan kembalinya dia ke
tempat tidur” (Al-Minhaj, 9/249)
Dalam hadits ini pun
ada bimbingan kepada istri untuk membantu memenuhi kebutuhan suaminya dan
mencari keridhaannya. (Fathul Bari, 9/366)
Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullahu menyatakan, wajib bagi istri untuk taat kepada suaminya sebatas
kemampuannya dalam perkara yang diperintahkan suami, karena hal ini termasuk
keutamaan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada kaum lelaki.
Sebagaimana dalam ayat:
الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلىَ النِّسَاءِ
“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita” (An-Nisa`: 34)
Dan ayat:
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
“Dan kaum lelaki
memiliki kedudukan satu derajat di atas kaum wanita”
Hadits-hadits shahih
yang ada memperkuat makna ini dan menjelaskan dengan terang apa yang akan
diperoleh wanita dari kebaikan ataupun kejelekan, bila ia menaati suaminya atau
mendurhakainya. (Adabuz Zifaf, hal. 175-176)
|
2: Istri
tidak boleh keluar rumah kecuali dengan izin suami
Seorang istri tidak
boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Baik si istri keluar
untuk mengunjungi kedua orangtuanya ataupun untuk kebutuhan yang lain,
sampaipun untuk keperluan shalat di masjid.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah mengatakan,
“Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumah suaminya
kecuali dengan izin suaminya”
Beliau juga berkata,
“Bila si istri keluar rumah suami tanpa izinnya berarti ia
telah berbuat nusyuz, bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya, serta pantas mendapatkan hukuman” (Majmu’ Al-Fatawa,
32/281)
Bahkan beliau (Ibnu
Taimiyah) juga berkata:
“Jika isteri keluar rumah suami tanpa seijinnya maka tidak
ada hak nafkah dan pakaian“
Nabi bersabda yang
artinya:
“Tidak halal bagi seorang wanita untuk berada di rumah
suaminya sedangkan suaminya tidak suka (ridha) dan janganlah ia keluar rumah
dalam keadaan suaminya tidak ridha.
Janganlah mentaati seorangpun di rumah suaminya (selain suaminya),
janganlah ia menjadikan suaminya gusar, janganlah ia menjauhi ranjang suaminya
dan janganlah ia merugikan suaminya walaupun ia (suaminya) lebih dhalim darinya
(wanita) sampai (si isteri) mencari keridhaan suami.
Maka jika suami ridha dan menerimanya, maka itu suatu kenikmatan
baginya (wanita). Allah akan menerima udzur-udzurnya dan akan berserilah
wajahnya dan ia tidak berdosa, tapi jika suami menolak untuk ridha kepadanya
maka sungguh ia telah menyampaikan udzur-udzurnya“
Sekalipun demikian
diperbolehkan bagi seorang wanita untuk ikut shalat di masjid, karena sabda
Rasul,
“Jika isteri salah seorang di antara kalian minta ijin untuk
ke masjid maka janganlah melarangnya“
Dalam hadits di atas
ada petunjuk bahwa, keluar (ke masjid) adalah harus dengan ijin suaminya, kalau
suami melarangnya, suami tidak berdosa menurut pendapat terpilih dari pendapat
para pentahqiq.
Dan sungguh
al-Baihaqi telah berkata:
“Itu adalah pendapat umumnya para ulama“
Adapun hadits :
“Janganlah kalian larang hamba-hamba perempuan Allah untuk
pergi ke masjid“
Maka perintah ini
tidak menunjukkan wajib, jika seandainya wajib, maka hadits tentang minta ijin
tidak akan ada artinya. wallahu a’lam.
Bersamaan dengan
diperbolehkannya wanita keluar untuk ke masjid maka sesungguhnya shalatnya di
rumah lebih utama daripada ikut berjamaah.Karena sabda Rasul:
“Shalatnya seorang wanita di rumahnya lebih utama dari
shalatnya di kamarnya, shalatnya di bilik khususnya
lebih utama dari shalatnya di rumahnya“
Diperbolehkan bagi
wanita untuk keluar ke pasar dan sebagiannya untuk memenuhi kebutuhannya dengan
tetap mempunyai rasa malu yang besar dan harus komitmen dengan pakaian syar’i
dan menjaga anggota badan dari melakukan kemungkaran-kemungkaran.
Karena hadits
‘Aisyah yang berkata:
“Telah keluar Saudah bintu Zam’ah pada suatu malam, maka
Umar melihatnya dan mengenalinya, kemudian dia berkata: “Demi Allah,
sesungguhnya engkau tidak tersembunyi dari kami”.
Maka kembalilah
Saudah kepada Nabi, kemudian Saudah menceritakan hal itu kepada Rasulullah,
ketika itu beliau berada di rumahku (‘Aisyah -red) sedang makan malam dan di
tangan beliau ada tulang, maka turunlah wahyu kepada beliau, yang memberikan
keringanan terhadap masalah itu. Beliau berkata:
“Sungguh Allah mengijinkan kalian (para wanita) untuk keluar
memenuhi kebutuhan-kebutuhan kalian“
|
3: Istri
tidak boleh puasa sunnah kecuali dengan izin suaminya.
Bila seorang istri
hendak mengerjakan puasa Ramadhan, ia tidak perlu meminta izin kepada suaminya
karena puasa Ramadhan hukumnya wajib, haram ditinggalkan tanpa udzur syar’i.
Bila sampai suaminya
melarang, ia tidak boleh menaatinya. Karena tidak boleh menaati makhluk dalam
bermaksiat kepada Al-Khaliq.
Namun bila si istri
hendak puasa sunnah/tathawwu’, ia harus meminta izin kepada suaminya. Karena
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang istri puasa (sunnah) sementara suaminya
ada di tempat kecuali dengan izin suaminya” (HR. Al-Bukhari no.
5195 dan Muslim no. 1026)
Al-Imam An-Nawawi
rahimahullahu berkata:
“Larangan ini menunjukkan keharaman. Demikian yang
diterangkan dengan jelas oleh kalangan ulama dari madzhab kami” (Al-Minhaj, 7/116)
Hal ini merupakan
pendapat jumhur ulama sebagaimana disebutkan dalam Fathul Bari (9/367).
Adapun sebab/alasan
pelarangan tersebut, wallahu a’lam, karena suami memiliki hak untuk istimta’
dengan si istri sepanjang hari.
Haknya ini wajib
untuk segera ditunaikan dan tidak boleh luput penunaiannya karena si istri
sedang melakukan ibadah sunnah ataupun ibadah yang wajib namun dapat ditunda. (Al-Minhaj,
7/116)
Al-Hafizh Ibnu Hajar
Al-Asqalani rahimahullahu mengatakan:
“Hadits ini menunjukkan lebih ditekankan kepada istri untuk
memenuhi hak suami daripada mengerjakan kebajikan yang hukumnya sunnah. Karena
hak suami itu wajib, sementara menunaikan kewajiban lebih didahulukan daripada
menunaikan perkara yang sunnah” (Fathul Bari, 9/357)
|
4: Istri
tidak boleh mengizinkan seseorang masuk ke rumah suami kecuali dengan izinnya.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang hal ini dalam sabdanya:
وَلاَ تَأْذَنْ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang istri mengizinkan seseorang masuk ke
rumah suaminya terkecuali dengan izin suaminya” (HR. Al-Bukhari no.
5195 dan Muslim no. 2367)
‘Amr ibnul Ahwash
radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sabda
beliau:
أَلاَ إِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائكُِمْ حَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا، فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ، أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوْا إِلَيْهِنَّ فيِ كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ
“Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian
dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian.
Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan
seorang yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian dan mereka
tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk memasuki rumah kalian.
Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik
terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka”
(HR. At-Tirmidzi no.
1163 dan Ibnu Majah no. 1851, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu
dalam Shahih At-Tirmidzi dan Shahih Ibni Majah)
|
5:
Mendapatkan pelayanan (khidmat) dari istrinya.
Semestinya seorang
istri membantu suaminya dalam kehidupannya. Hal ini telah dicontohkan oleh
istri-istri shalihah dari kalangan shahabiyah seperti yang dilakukan :
- Asma` bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma yang berkhidmat kepada suaminya.
- Az-Zubair ibnul ‘Awwam radhiyallahu ‘anhu. Ia mengurusi hewan tunggangan suaminya, memberi makan dan minum kudanya, menjahit dan menambal embernya, serta mengadon tepung untuk membuat kue. Ia yang memikul biji-bijian dari tanah milik suaminya sementara jarak tempat tinggalnya dengan tanah tersebut sekitar 2/3 farsakh12.” (HR. Al-Bukhari no. 5224 dan Muslim no. 2182)
- Demikian pula khidmat Fathimah binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah suaminya, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Sampai-sampai kedua tangannya lecet karena menggiling gandum. (HR. Al-Bukhari no. 6318 dan Muslim no. 2727)
Shahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, menikahi
seorang janda agar bisa berkhidmat padanya dengan mengurusi 7 atau 9 saudara
perempuannya yang masih belia.
Kata Jabir kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ayahku, Abdullah, telah wafat dan ia meninggalkan banyak anak perempuan.
Kata Jabir kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ayahku, Abdullah, telah wafat dan ia meninggalkan banyak anak perempuan.
Aku tidak suka
mendatangkan di tengah-tengah mereka wanita yang sama dengan mereka. Maka aku
pun menikahi seorang wanita yang bisa mengurusi dan merawat mereka.” Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Jabir:
فَباَرَكَ اللهُ لَكَ – أَوْ: خَيْرًا -
“Semoga Allah memberkahimu” Atau beliau berkata,
“Semoga kebaikan untukmu” (HR. Al-Bukhari
no. 5367 dan Muslim no. 3623)
|
6:
Disyukuri kebaikan yang diberikannya.
Seorang istri harus
pandai-pandai berterima kasih kepada suaminya atas semua yang telah diberikan
suaminya kepadanya.
Bila tidak, si istri
akan berhadapan dengan ancaman neraka Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Seselesainya dari Shalat Kusuf (Shalat Gerhana), Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda menceritakan surga dan neraka yang diperlihatkan kepada beliau ketika shalat:
Seselesainya dari Shalat Kusuf (Shalat Gerhana), Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda menceritakan surga dan neraka yang diperlihatkan kepada beliau ketika shalat:
وَرَأَيْتُ النَّارَ فَلَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ مَنْظَرًا قَطُّ وَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ. قَالُوا: لِمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: بِكُفْرِهِنَّ. قِيْلَ: يَكْفُرْنَ بِاللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ اْلإِحْسَانَ، لَوْ أَََحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
Dan aku melihat neraka. Aku belum pernah sama sekali melihat
pemandangan seperti hari ini. Dan aku lihat ternyata mayoritas penghuninya
adalah para wanita.”
Mereka bertanya, “Kenapa
para wanita menjadi mayoritas penghuni neraka, ya Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Disebabkan
kekufuran mereka13.”
Ada yang bertanya
kepada beliau: “Apakah
para wanita itu kufur kepada Allah?”
Beliau menjawab: “(Tidak, melainkan) mereka
kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami). Seandainya engkau berbuat
baik kepada salah seorang dari mereka pada suatu masa, kemudian suatu saat ia
melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan
berkata: ‘Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu’” (HR. Al-Bukhari no.
5197 dan Muslim no. 2106)
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan:
‘Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud
kepada orang lain (sesama makluk) niscaya aku perintahkan seorang istri untuk
sujud kepada suaminya’
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengandaikan hak suami terhadap
istri dengan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala14,
maka bila seorang istri mengkufuri/mengingkari hak suaminya,
sementara hak suami terhadapnya telah mencapai puncak yang sedemikian besar,
hal itu sebagai bukti istri tersebut meremehkan hak Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Karena itulah diberikan istilah kufur atas perbuatannya.
Akan tetapi kufurnya tidak sampai mengeluarkan dari agama” (Fathul Bari, 1/106)
Dalam kitab
Ash-Shahihain disebutkan bahwa pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju lapangan untuk melaksanakan shalat.
Setelahnya beliau berkhutbah dan ketika melewati para wanita beliau bersabda:
“Wahai sekalian wanita, bersedekahlah kalian dan
perbanyaklah istighfar (meminta ampun) karena sungguh diperlihatkan kepadaku
mayoritas kalian adalah penghuni neraka”
Salah seorang wanita
yang hadir di tempat tersebut bertanya:
“Apa sebabnya kami menjadi mayoritas penghuni neraka, ya
Rasulullah?”
Beliau menjawab:
“Kalian banyak melaknat dan mengkufuri kebaikan suami. Aku
belum pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya namun dapat
menundukkan lelaki yang memiliki akal yang sempurna daripada kalian”
Demikianlah, wahai
para istri yang shalihah, beberapa hak suami yang dapat kami sebutkan.
Tunaikanlah dengan sebaik-baiknya. Dan mohonlah pertolongan Allah Subhanahu wa
Ta’ala untuk menunaikannya.
|
Demikian secara umum, hak-hak agung dari seorang suami yang shalih,
untuk dapat kiranya dipenuhi oleh istri tercintanya yang shalihah dalam sebuah
kewajiban dalam Islam. Selanjutnya, mari kita simak mulianya hak istri yang
harus juga dipenuhi oleh suami terkasihnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar