بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــمِ
.
Banyak fakta tak
terbantahkan bahwa hak-hak istri sering kali diabaikan oleh para suami.
Padahal jika kita
runut, percikan konflik dalam rumah tangga berakar dari diabaikannya hak-hak
istri/suami oleh pasangan mereka.Lalu apa saja hak-hak istri yang mesti
ditunaikan suami?
Dalam kitab mulia
yang tidak dapat disusupi kebatilan sedikit pun, Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban
mereka menurut cara yang ma’ruf” (Al-Baqarah:
228)
Al-Imam Abu Abdillah
Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi rahimahullahu menyatakan dalam tafsir
ayat di atas bahwa para istri memiliki hak terhadap suaminya sebagaimana suami
memiliki hak yang harus dipenuhi oleh istrinya. (Al-Jami’ li Ahkamil
Qur’an/Tafsir Al-Qurthubi, 3/82)
|
Karena itulah Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Aku senang
berhias untuk istriku sebagaimana aku senang bila ia berdandan untukku,
karena Allah yang
Maha Tinggi sebutan-Nya berfirman:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban
mereka menurut cara yang ma’ruf”
Adh-Dhahhak
rahimahullahu berkata menafsirkan ayat di atas,
“Apabila para istri menaati Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
menaati suami-suami mereka, maka wajib bagi suami untuk membaguskan
pergaulannya dengan istrinya, menahan dari memberikan gangguan/menyakiti
istrinya, dan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya” (Jami’ul Bayan
fi Ta`wilil Qur`an/Tafsir Ath-Thabari, 2/466)
Al-‘Allamah
Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata dalam tafsirnya,
“Para istri memiliki hak-hak yang harus dipenuhi oleh
suami-suami mereka seimbang dengan kewajiban-kewajiban mereka terhadap
suami-suami mereka, baik itu yang wajib maupun yang mustahab.
Dan masalah pemenuhan hak suami istri ini kembalinya kepada yang
ma’ruf (yang dikenali), yaitu kebiasaan yang berlangsung di negeri
masing-masing (tempat suami istri tinggal) dan sesuai dengan zaman” (Taisir Al-Karimir
Rahman, hal. 102)
Hakim bin Mu’awiyah
meriwayatkan sebuah hadits dari ayahnya, Mu’awiyah bin Haidah radhiyallahu
‘anhu. Ayahnya ini berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ؟
“Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang dari kami
terhadap suaminya?”
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ
“Engkau beri makan istrimu apabila engkau makan, dan engkau
beri pakaian bila engkau berpakaian. Janganlah engkau memukul wajahnya, jangan
menjelekkannya, dan jangan memboikotnya (mendiamkannya) kecuali di dalam rumah” (HR. Abu Dawud
no. 2142 dan selainnya, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam
Al-Jami’ush Shahih, 3/86)
Ketika haji Wada’,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah di hadapan
manusia. Di antara isi khutbah beliau adalah: