Ahlan Wa Sahlan , , , , , , ,

بِسْــــــــــــــــــمِ ﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم ..

لا تزول قدما عبد يوم القيامة حتى يسأل عن عمره فيما أفناه وعن علمه فيما فعل به و عن ماله من أين اكتسبه وعن جسمه فيما أبلاه

”Tidak bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat, hingga ditanya tentang empat perkara, tentang umurnya untuk apa dihabiskan, ilmunya bagaimana dia amalkan, hartanya dari mana ia dapatkan dan untuk apa ia belanjakan dan tentang tubuhnya bagaimana dia memanfaatkanya.”

(HR. at-Tirmidzi)

Abdullah Ibnu Mas’udz bahwasanya dia berkata “Tidaklah aku menyesali sesuatu seperti penyesalanku atas suatu hari yg berlalu dgn terbenamnya matahari semakin berkurang umurku tetapi tidak bertambah amalanku.

Senin, 12 Desember 2011

Jilbab Wanita MUslimah


Jilbab Wanita Muslimah
Copy Of : Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany

Penelitian kami terhadap ayat-ayat Al-Quran, As-Sunnah dan atsar-atsar Salaf dalam masalah yang penting ini, memberikan jawaban kepada kami bahwa jika seorang wanita keluar dari rumahnya, maka ia wajib menutup seluruh anggota badannya dan tidak menampakkan sedikitpun perhiasannya, kecuali wajah dan dua telapak tangannya, maka ia harus menggunakan pakaian (jilbab) yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :


1. MELIPUTI SELURUH BADAN SELAIN YANG DIKECUALIKAN

Syarat ini terdapat dalam firman Allah dalam surat An-Nuur : 31 berbunyi : "Katakanlah kepada wanita yang beriman : "Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka atau ayah suami mereka (mertua) atau putra-putra mereka atau putra-putra suami mereka atau saudara-saudar mereka (kakak dan adiknya) atau putra-putra saudara laki-laki mereka atau putra-putra saudara perempuan mereka (=keponakan) atau wanita-wanita Islam

POLIGAMI DI HUJAT

Bismillahirrahmaanirrahiim,

Poligami merupakan nizham (peraturan/syariat) di dalam  Islam  yang  semenjak  dahulu  dijadikan sasaran  bulan-bulanan oleh  kaum  orientalis  dan kuffar  untuk  menghantam  dan  mencela  agama Islam  dan  Rasulullah  Shallalallahu  ’alaihi  wa Salam. Bahkan  semenjak  zaman  Rasulullah  Shallallahu ’alaihi  wa  Salam, kaum kafir Yahudi sudah mulai menghembuskan  celaan-celaan  dan  hujatan-hujatan  kepada  Nabi  dan  syariat  Poligami  ini.
Diriwayatkan  oleh  ’Umar  Maula  (mantan  budak) Ghufroh [dia berkata] : ”Orang  Yahudi  berkata  ketika  melihat  Rasulullah menikahi  wanita  :  Lihatlah  orang  yang  tidak pernah kenyang dari makan ini, dan demi Allah, ia tidaklah  punya  hasrat  melainkan  kepada  para wanita.” [Thobaqot al-Kubra karya Ibnu Sa’ad, juz VIII hal.  233, melalui perantaraan  Hamdi  Syafiq,  Zaujaat Laa Asyiiqoot at-Ta’addudi asy-Syar’i Dhorurotul Ashri]. Mereka  -kaum  Yahudi-  mendengki  kepada Rasulullah  dan  ketika mereka  melihat  Rasulullah berpoligami maka mereka jadikan hal ini sebagai sarana  untuk  menjatuhkan  dan  merendahkan beliau  ’alaihi  Sholatu  wa  Salam.  Mereka menyebarkan kedustaan dengan berkata : ”Kalau seandainya  Muhammad  itu  benar-benar  seorang Nabi,  niscaya  ia  tidak  akan  begitu  berhasrat kepada wanita.” [ibid].
Diantara  para  pencela  tersebut  adalah  seorang orientalis klasik yang bernama Ricoldo De Monte Croce  (w.  1320  M)  yang  menulis  buku  “Contra Sectam Mahumeticam Libellius” (Menentang Gaya Hidup  Sekte  Muhammadanism),  ia  menyebut agama  Islam  sebagai  Muhammadisme  yaitu agama  yang  diciptakan  oleh  Muhammad Shallallahu ’alaihi wa Salam, selain itu dengan keji orang  laknat  ini  menyebut  Rasulullah  sebagai setan antikristus yang amoral dan gila seks. Dia menuduh Rasulullah dengan tuduhan-tuduhan keji –semoga Alloh mengutuknya-. [Harmutz  Bobzin,  A Treasury of Heresies hal. 16]. Apa  yang  dipaparkan  oleh  De  Monte  Croce  ini, diikuti  oleh  seorang  reformis  agama  kristiani, pencipta aliran Protestanisme, Martin Luther yang menterjemah  karya  Ricoldo  ke  dalam  bahasa Jerman.  Ia  memiliki  pandangan  yang  sama dengan  Ricoldo,  menghina  Islam  dan  Rasulullah dan menuduh beliau Shallallahu  ‘alaihi  wa  Salam dengan tuduhan keji dan dusta. [ibid]
Mereka  –semoga  Allah  melaknatnya  dan membinasakan mereka-, mencela Nabi yang mulia ’alaihi Sholatu wa Salam dengan celaan yang keji. Seakan-akan Rasulullah adalah manusia yang ’gila dengan  wanita’  –wal’iyadzubillah-,  dan  tuduhan-tuduhan keji ini terus berlangsung secara estafet, hingga  kepada  para  orientalis  kuffar,  yang  akhirnya  turut  merasuk  dan  mengkontaminasi pemikiran sebagian kaum muslimin yang terpukau dengan hadharah (peradaban) barat yang buruk, mengungkit-ungkit  syariat  –bahkan menghujatnya-  dan  menganggap  bahwa  syariat Islam  itu  barbar  dan  tidak  manusiawi (merendahkan kaum wanita). Allahul Musta’an.
Pemahaman ini pun dibawa dan dikumandangkan oleh  para  cendekiawan  (baca  :  cendawan) muslim(?) yang menggembargemborkan madzhab bid’ah  liberalisme,  sosialisme  islam,  feminisme, dan  isme  isme  lainnya  yang  merupakan  produk impor dari sampah pemikiran (afkar/thought) dan peradaban  (hadharah/civilitation)  kaum  herecies (kuffar), semisal Hasan Hanafi, Syed Hossen Nasr, Nasr  Abou  Zaed,  Khaled  Abou  Fadl,  Mohamed Arkoun, Fatima Mernissi, Amina Wadud, dan selain mereka  dari  kaum  zanadiqoh,  para  pengagum kesesatan dan bid’ah. Penulis katakan, apabila ada orang yang mencela poligami,  maka  pada  hakikatnya  ia  mencela syariat Islam itu sendiri, bahkan ia mencela sang Pembuat  Syariat,  Allah  Azza  wa  Jalla  Sang Pencipta  :  yang  menciptakan  alam  semesta  dan makhluk-Nya  secara  berpasang-pasangan,  yang menurunkan  syariat  poligami bagi hamba-hamba-Nya dan Dia Maha Mengetahui atas kebaikan bagi  makhluk-makhluk-Nya,  sedangkan makhluk-Nya  tidak  memiliki  pengetahuan melainkan hanya sedikit saja yang tidak lebih dari setetes air di samudera. Akan tetapi kebanyakan manusia itu sombong dan membangkang, mereka lebih  mengagungkan  akalnya  ketimbang mengagungkan  Allah  dan  syariat-Nya,  apa  yang menurut  mereka  buruk  maka  mereka  anggap buruk,  padahal  betapa  sering  terjadi  apa  yang mereka anggap buruk ternyata baik di sisi Allah, dan apa yang mereka anggap baik ternyata buruk di  sisi  Allah,  dan Allah  adalah  lebih  mengetahui daripada mereka...

Para Nabi dan Rasul Melakukan Poligami
Orang yang mengatakan bahwa poligami itu sama dengan selingkuh, maka secara tidak langsung ia menuduh bahwa Rasulullah Shallallahu  ’alaihi  wa Salam itu juga selingkuh, bahkan para nabi dan rasul juga  selingkuh.  Nabi-nabi  yang  diakui  oleh umat  Yahudi  dan  Kristiani,  dan  termaktub  di dalam kitab  suci  mereka  –walau  telah  ditahrif  / diubah-ubah-  juga  melakukan  poligami.  Nabi Ibrahim  (Abraham)  ’alaihi  Salam,  memiliki beberapa orang isteri, diantaranya adalah : Sarah (Sara)  yang  melahirkan  Ishaq  (Isaac)  –kakek buyut  bangsa  Israil-  dan  Hajar  (Hagar)  yang melahirkan Ismail (Ishmael) –kakek buyut bangsa Arab- ’alaihimus Salam.  Nabi Ya’qub (Jacob) ’alaihi Salam dikisahkan juga memiliki  dua orang  isteri kakak  adik  puteri  dari saudara  ibunya,  yang  bernama  Lia  (Liya)  dan Rahil  (Rachel) [catatan  : mengumpulkan dua  orang saudara  (adik  kakak)  dalam  satu  pernikahan  dahulu diperbolehkan lalu dilarang pada zaman Rasulullah oleh al-Qur’an].  Demikian  pula  dengan  Nabi  Dawud (David) dan puteranya Nabi Sulaiman (Solomon) ’alaihima  Salam yang memiliki banyak isteri dan budak wanita. 

Minggu, 16 Oktober 2011

Seikat Cinta


Cinta, ya Cinta, sebuah kata yang sarat dengan makna. Tak ada seorang manusia pun di dunia ini yang tak mengenal cinta
Karena cinta sesungguhnya telah ada sebelum manusia itu ada. Ia akan terus tumbuh dan bersemi di dada, meski manusia itu sendiri telah tiada.
Mari maknai cinta itu dengan kelembutan, kasih sayang dan perhatian yang sepenuh hati
Agar cinta itu benar-benar dapat menemukan kesejatiannya dan ketulusannya
Tanpa harus dibumbui oleh prasangka dan ego di dada
Karena Sesungguhnya, Cinta itu

adalah :
Ketika hatimu terluka tapi mampu untuk memaafkannya
Ketika hatimu menangis tapi mampu untuk tersenyum karenanya
Ketika hatimu bersumpah untuk setia walau ia telah mengkhianatimu
Ketika hatimu mampu membahagiakannya tanpa meminta balasan darinya
Ketika kamu mencintainya tanpa kenal waktu
Ketika kamu tersenyum walau hatimu terluka
Ketika kamu mengalah meski pendapatmu benar
Ketika kamu mampu untuk memaafkannya tanpa ia pinta
Ketika engkau tertawa oleh ocehannya yang tak pernah lucu
Ketika engkau memberi apa yang paling engkau sukai
Ketika engkau mau menerima apa yang tidak kamu sukai darinya
Ketika engkau selalu mengharapkan kehadirannya
Ketika ketulusan menjadi panji-panji cintamu
Ketika kejujuran selalu menghiasi setiap ucapanmu
Ketika kesetiaan menjadi tanda tangan cintamu
ketika perhatian adalah makanan keseharianmu


Jumat, 08 Juli 2011

Sikap Anak Kepada Orang Tua Yang Masih Kafir”




Oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Bagaimana seorang anak hrs bersikap terhadap orang tua yg masih kafir ?

Kisah Sahabat Sa’ad bin Abi Waqqas Radhiyallahu ‘anhu dan ibu dpt dijadikan sebagai pelajaran. Dalam hadits yg diriwayatkan Imam Muslim (Juz. IV hal. 1877 no. 1748 (43)), Diceritakan bahwa Ummu Sa’ad (ibu Sa’ad) bersumpah tdk akan berbicara kpd anak dan tdk mau makan dan minum krn menginginkan Sa’ad murtad dari ajaran Islam. Ummu Sa’ad mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh seorang anak beruntuk baik kpd kedua orang tuanya. Ibu berkata, “Aku tahu Allah menyuruhmu beruntuk baik kpd ibumu dan aku menyuruhmu untuk keluar dari ajaran Islam ini”. Kemudian selama tiga hari Ummu Sa’ad tdk makan dan minum. Bahkan memerintahkan Sa’ad untuk kufur. Sebagai seorang anak Sa’ad tdk tega dan merasa iba kpd ibunya.

Berkaitan dgn kisah Sa’ad ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan wahyu seperti yg terdpt pada surat Al-Ankabut ayat 8 . “Arti : Dan Kami berwasiat kpd manusia agar berbakti kpd orang tua dgn baik, dan apabila kedua memaksa untuk menyekutukan Aku yg kamu tdk ada ilmu, maka janganlah taat kpd keduanya” Sedangkan wahyu yg kedua dalam surat Luqman ayat 15. “Arti : Dan apabila kedua memaksamu untuk menyekutukan Aku dgn apa-apa yg tdk ada ilmu padanya, jangan taati kedua dan bergaul lah dalam kehidupan dunia dgn peruntukan yg ma’ruf (baik) dan ikutilah jalan orang-orang yg kembali kpd-Ku kemudian ha kpd-Ku lah kembalimu, maka Ku-beritakan kpdmu apa-apa yg telah kamu kerjakan“. Turun ayat ini memuntuk Sa’ad semakin bertambah mantap keyakinan dan akhir Sa’ad membuka mulut ibu dan memaksa ibu untuk makan.

Dengan demikian Sa’ad tdk beruntuk kufur kpd Allah Subhanahu wa Ta’ala dan juga bisa beruntuk baik kpd ibunya. Para Ulama mengambil dalil dari ayat ini tentang wajib berbakti dan bersilaturahmi kpd kedua orang tua meskipun kedua masih kafir. Kafir yg dimaksud pada permasalahan ini bukan kafir harbi (kafir yg menentang dan memerangi Islam). Jika orang tua tdk kafir harbi, tdk menyerang kaum muslimin, maka hendaklah bergaul dgn mereka dgn baik dan bersilaturahmi kpd keduanya. Hal tersebut didasarkan kpd surat Luqman ayat 14. “Arti : Dan bergaul-lah kpd kedua dalam kehidupan dunia dgn cara yg ma’ruf” Kemudian dalam surat Al-Mumtahanah ayat 8, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk beruntuk baik kpd orang-orang yg tdk menyerang kita. “Arti : Allah tdk melarang kamu untuk beruntuk baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yg tdk memerangi kamu krn agama. Dan tdk pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguh Allah menyukai orang-orang yg berlaku adil“.

Kisah ini terjadi pada Asma binti Abu Bakar Ash-Shidiq. Ketika ibu yg masih dalam keadaan musyrik akan datang untuk berkunjung kpdnya, Asma meminta fatwa kpd Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kamu menyambung silaturahmi kpd ibumu” [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim] Secara fitrah, seorang anak akan mencintai orang tua krn merekalah yg melahirkan serta mengurusnya, tapi jika mencintai krn iman maka tdk dibenarkan. Dengan dasar surat Al-Mujialah ayat 22. “Arti : Kamu tdk akan mendpti sesuatu kaum yg beriman kpd Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayg dgn orang-orang yg menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.

Mereka itulah orang-orang yg Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dgn pertolongan yg datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yg mengalir di bawah sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridla terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguh golongan Allah itulah golongan yg beruntung” Jika kedua kafir harbi, maka tdk boleh berbakti dan bersilaturahmi kpd kedua dgn dasar surat Al-Mumtahanah ayat 9. “Arti : Sesungguh Allah ha melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yg memerangimu krn agama. Dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu orang lain untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka ialah orang-orang yg zhalim. Dengan demikian kita tdk boleh beruntuk baik kpd orang-orang kafir harbi atas dasar ayat tersebut. Bahkan seandai bertemu di medan perang, diperbolehkan untuk dibunuh. Hal ini sudah pernah terjadi terhadap Abu Ubaidah Ibnul Jarrah dgn bapak pada waktu perang Badar. Bapak ikut di medan pertempuran dan berada di pihak kaum musyrikin kemudian Abu Ubaidah membunuhnya.

Timbul pertanyaan, “Bolehkah mendo’akan orang tua yg masih kafir?” Jawabnya ialah, baik kafir harbi atau bukan kafir harbi tdk diperbolehkan mendoakan untuk memintakan ampun dan kasih sayg kpd Allah Subhanahu wa Ta’ala, ketika kedua masih hidup maupun sudah meninggal.
Dasar ialah surat At-Taubah ayat 113, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. “Arti : Tidaklah sepatut bagi Nabi dan orang-orang beriman memintakan ampun kpd Allah bagi orang-orang musyrik walaupun orang-orang musyrik itu kaum kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwasa orang-orang musyrik itu ialah penghuni neraka jahannam” Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta kpd Allah Subhanahu wa Ta’ala supaya mengampuni dosa ibunya, Allah Subhanahu wa Ta’ala tdk mengabulkan krn ibu mati dalam keadaan kafir[1] Kedua orang tua Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mati dalam keadaan kafir[2] Kalau ada yg bertanya, “Bukankah pada saat itu belum diutus Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Saat itu sudah ada millah Ibrahim. Sedangkan kedua orang tua Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tdk masuk dalam millah Ibrahim sehingga kedua masih dalam keadaan kafir [3] Nabi Ibrahim juga pernah memintakan ampun kpd Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk kedua orang tua yg masih kafir, krn pada waktu itu Ibrahim belum tahu dan belum turun wahyu tentang ada larangan tersebut. Setelah turun wahyu, Ibrahim kemudian menahan diri. 

Kisah ini bisa dilihat dalam surat At-Taubah ayat 114. “Arti : Dan permintaan ampun dari Ibrahim kpd Allah untuk bapak tdk lain hanyalah krn janji yg telah diikrarkan kpd bapak itu maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapak itu ialah musuh Allah maka Ibrahim berlepas diri daripadanya, sesungguh Ibrahim ialah seorang yg sangat lembut hati dan lagi menyantun” Jika orang tua masih kafir tetapi bukan kafir harbi, maka diperbolehkan mendo’akan agar mereka diberikan hidayah. Dikatakan oleh Imam Al-Qurtubi, ayat yg ke-8 tadi mrpk dalil tentang tetap menyambung tali silaturrahmi kpd orang tua yg masih kafir serta mendo’akan kedua agar mendptkan hidayah dan kembali ke jalan yg haq.

Walaupun tdk boleh memintakan ampunan dan rahmat kpd orang tua yg masih kafir tetapi masih diperbolehkan memintakan hidayah kpd Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mendakwahkan jika bukan kafir harbi. Jadi dakwah kpd orang tua yg masih kafir hrs tetap dilakukan dan dgn cara yg baik. Dapat kita lihat bagaimana dakwah Ibarahim ‘Alaihi Shalatu wa sallam kpd orang tuanya. Beliau mendakwahkan dgn kata-kata yg lemah lembut. Dakwah kpd orang tua yg masih kafir saja hrs dilakukan dgn kata-kata yg lemah lembut, terlebih lagi jika orang tua tdk kafir tetapi masih suka melakukan bid’ah, hrs didakwahkan dgn kata-kata lebih lemah lembut lagi.

Sikap Nabi Ibrahim terhadap bapak yg kafir dpt dilihat dalam surat Maryam ayat 41-48. “Arti : 

Ceritakanlah wahai Muhammad kisah Ibrahim di dalam kitab Al-Qur’an, sesungguh dia seorang yg sangat membenarkan lagi seorang Nabi” Ingatlah ketika ia berkata kpd bapaknya, “Wahai bapakku, mengapa engkau menyembah sesuatu yg tdk dpt mendengar, tdk melihat dan tdk dpt menolongmu sedikitpun juga” “Wahai bapakku sesungguh telah datang kpdku sebagian ilmu pengetahuan yg tdk datang kpdmu. Maka ikutilah aku niscaya aku akan menunjukkan kamu ke jalan yg lurus” “Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaithan sesungguh syaitan itu durhaka kpd Allah Yang Maha Pemurah” “Wahai bapakku, sesungguh aku khawatir kamu akan ditimpa adzab dari Allah Yang Maha Pemurah maka kamu menjadi kawan bagi syaitah” Berkata bapaknya, “Bencikah kamu kpd tuhan-tuhanku hai Ibrahim jika kamu tdk berhenti niscaya akan aku rajam dan tinggalkanlah aku untuk waktu yg lama” Ibrahim berkata, “Semoga keselamatan dilimpahkan kpdmu aku akan meminta ampun bagimu kpd Allah sesungguh Dia sangat baik kpdku” “Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yg engkau seru selain Allah dan aku akan berdo’a kpd Rabb-ku mudah-mudahan aku tdk kecewa dgn berdo’a kpd Rabb-ku

[Disalin dari Kitab Birrul Walidain, edisi Indonesia Berbakti Kepada Kedua Orang Tua oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, terbitan Darul Qolam - Jakarta]