Ahlan Wa Sahlan , , , , , , ,

بِسْــــــــــــــــــمِ ﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم ..

لا تزول قدما عبد يوم القيامة حتى يسأل عن عمره فيما أفناه وعن علمه فيما فعل به و عن ماله من أين اكتسبه وعن جسمه فيما أبلاه

”Tidak bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat, hingga ditanya tentang empat perkara, tentang umurnya untuk apa dihabiskan, ilmunya bagaimana dia amalkan, hartanya dari mana ia dapatkan dan untuk apa ia belanjakan dan tentang tubuhnya bagaimana dia memanfaatkanya.”

(HR. at-Tirmidzi)

Abdullah Ibnu Mas’udz bahwasanya dia berkata “Tidaklah aku menyesali sesuatu seperti penyesalanku atas suatu hari yg berlalu dgn terbenamnya matahari semakin berkurang umurku tetapi tidak bertambah amalanku.

Senin, 12 Desember 2011

POLIGAMI DI HUJAT

Bismillahirrahmaanirrahiim,

Poligami merupakan nizham (peraturan/syariat) di dalam  Islam  yang  semenjak  dahulu  dijadikan sasaran  bulan-bulanan oleh  kaum  orientalis  dan kuffar  untuk  menghantam  dan  mencela  agama Islam  dan  Rasulullah  Shallalallahu  ’alaihi  wa Salam. Bahkan  semenjak  zaman  Rasulullah  Shallallahu ’alaihi  wa  Salam, kaum kafir Yahudi sudah mulai menghembuskan  celaan-celaan  dan  hujatan-hujatan  kepada  Nabi  dan  syariat  Poligami  ini.
Diriwayatkan  oleh  ’Umar  Maula  (mantan  budak) Ghufroh [dia berkata] : ”Orang  Yahudi  berkata  ketika  melihat  Rasulullah menikahi  wanita  :  Lihatlah  orang  yang  tidak pernah kenyang dari makan ini, dan demi Allah, ia tidaklah  punya  hasrat  melainkan  kepada  para wanita.” [Thobaqot al-Kubra karya Ibnu Sa’ad, juz VIII hal.  233, melalui perantaraan  Hamdi  Syafiq,  Zaujaat Laa Asyiiqoot at-Ta’addudi asy-Syar’i Dhorurotul Ashri]. Mereka  -kaum  Yahudi-  mendengki  kepada Rasulullah  dan  ketika mereka  melihat  Rasulullah berpoligami maka mereka jadikan hal ini sebagai sarana  untuk  menjatuhkan  dan  merendahkan beliau  ’alaihi  Sholatu  wa  Salam.  Mereka menyebarkan kedustaan dengan berkata : ”Kalau seandainya  Muhammad  itu  benar-benar  seorang Nabi,  niscaya  ia  tidak  akan  begitu  berhasrat kepada wanita.” [ibid].
Diantara  para  pencela  tersebut  adalah  seorang orientalis klasik yang bernama Ricoldo De Monte Croce  (w.  1320  M)  yang  menulis  buku  “Contra Sectam Mahumeticam Libellius” (Menentang Gaya Hidup  Sekte  Muhammadanism),  ia  menyebut agama  Islam  sebagai  Muhammadisme  yaitu agama  yang  diciptakan  oleh  Muhammad Shallallahu ’alaihi wa Salam, selain itu dengan keji orang  laknat  ini  menyebut  Rasulullah  sebagai setan antikristus yang amoral dan gila seks. Dia menuduh Rasulullah dengan tuduhan-tuduhan keji –semoga Alloh mengutuknya-. [Harmutz  Bobzin,  A Treasury of Heresies hal. 16]. Apa  yang  dipaparkan  oleh  De  Monte  Croce  ini, diikuti  oleh  seorang  reformis  agama  kristiani, pencipta aliran Protestanisme, Martin Luther yang menterjemah  karya  Ricoldo  ke  dalam  bahasa Jerman.  Ia  memiliki  pandangan  yang  sama dengan  Ricoldo,  menghina  Islam  dan  Rasulullah dan menuduh beliau Shallallahu  ‘alaihi  wa  Salam dengan tuduhan keji dan dusta. [ibid]
Mereka  –semoga  Allah  melaknatnya  dan membinasakan mereka-, mencela Nabi yang mulia ’alaihi Sholatu wa Salam dengan celaan yang keji. Seakan-akan Rasulullah adalah manusia yang ’gila dengan  wanita’  –wal’iyadzubillah-,  dan  tuduhan-tuduhan keji ini terus berlangsung secara estafet, hingga  kepada  para  orientalis  kuffar,  yang  akhirnya  turut  merasuk  dan  mengkontaminasi pemikiran sebagian kaum muslimin yang terpukau dengan hadharah (peradaban) barat yang buruk, mengungkit-ungkit  syariat  –bahkan menghujatnya-  dan  menganggap  bahwa  syariat Islam  itu  barbar  dan  tidak  manusiawi (merendahkan kaum wanita). Allahul Musta’an.
Pemahaman ini pun dibawa dan dikumandangkan oleh  para  cendekiawan  (baca  :  cendawan) muslim(?) yang menggembargemborkan madzhab bid’ah  liberalisme,  sosialisme  islam,  feminisme, dan  isme  isme  lainnya  yang  merupakan  produk impor dari sampah pemikiran (afkar/thought) dan peradaban  (hadharah/civilitation)  kaum  herecies (kuffar), semisal Hasan Hanafi, Syed Hossen Nasr, Nasr  Abou  Zaed,  Khaled  Abou  Fadl,  Mohamed Arkoun, Fatima Mernissi, Amina Wadud, dan selain mereka  dari  kaum  zanadiqoh,  para  pengagum kesesatan dan bid’ah. Penulis katakan, apabila ada orang yang mencela poligami,  maka  pada  hakikatnya  ia  mencela syariat Islam itu sendiri, bahkan ia mencela sang Pembuat  Syariat,  Allah  Azza  wa  Jalla  Sang Pencipta  :  yang  menciptakan  alam  semesta  dan makhluk-Nya  secara  berpasang-pasangan,  yang menurunkan  syariat  poligami bagi hamba-hamba-Nya dan Dia Maha Mengetahui atas kebaikan bagi  makhluk-makhluk-Nya,  sedangkan makhluk-Nya  tidak  memiliki  pengetahuan melainkan hanya sedikit saja yang tidak lebih dari setetes air di samudera. Akan tetapi kebanyakan manusia itu sombong dan membangkang, mereka lebih  mengagungkan  akalnya  ketimbang mengagungkan  Allah  dan  syariat-Nya,  apa  yang menurut  mereka  buruk  maka  mereka  anggap buruk,  padahal  betapa  sering  terjadi  apa  yang mereka anggap buruk ternyata baik di sisi Allah, dan apa yang mereka anggap baik ternyata buruk di  sisi  Allah,  dan Allah  adalah  lebih  mengetahui daripada mereka...

Para Nabi dan Rasul Melakukan Poligami
Orang yang mengatakan bahwa poligami itu sama dengan selingkuh, maka secara tidak langsung ia menuduh bahwa Rasulullah Shallallahu  ’alaihi  wa Salam itu juga selingkuh, bahkan para nabi dan rasul juga  selingkuh.  Nabi-nabi  yang  diakui  oleh umat  Yahudi  dan  Kristiani,  dan  termaktub  di dalam kitab  suci  mereka  –walau  telah  ditahrif  / diubah-ubah-  juga  melakukan  poligami.  Nabi Ibrahim  (Abraham)  ’alaihi  Salam,  memiliki beberapa orang isteri, diantaranya adalah : Sarah (Sara)  yang  melahirkan  Ishaq  (Isaac)  –kakek buyut  bangsa  Israil-  dan  Hajar  (Hagar)  yang melahirkan Ismail (Ishmael) –kakek buyut bangsa Arab- ’alaihimus Salam.  Nabi Ya’qub (Jacob) ’alaihi Salam dikisahkan juga memiliki  dua orang  isteri kakak  adik  puteri  dari saudara  ibunya,  yang  bernama  Lia  (Liya)  dan Rahil  (Rachel) [catatan  : mengumpulkan dua  orang saudara  (adik  kakak)  dalam  satu  pernikahan  dahulu diperbolehkan lalu dilarang pada zaman Rasulullah oleh al-Qur’an].  Demikian  pula  dengan  Nabi  Dawud (David) dan puteranya Nabi Sulaiman (Solomon) ’alaihima  Salam yang memiliki banyak isteri dan budak wanita. 
Lantas, apakah mereka semua ini dikatakan telah melakukan selingkuh, manusia yang ’gila wanita’, hipersex,  atau  tuduhan-tuduhan  keji  lainnya? Na’udzu  billahi  min  dzaalik.  Semua  umat beragama pasti faham dan yakin, bahwa para Nabi itu  ma’shum  (infallible/terjaga  dari  dosa)  dan menuduh  keburukan  pada  salah  satu  Nabi berimplikasi  pada  kekafiran...  Tidakkah  mereka juga  mengetahui  bahwa  Nabi  Dawud  itu  adalah seorang  Nabi  yang  paling  banyak  beribadah kepada  Allah,  bahkan  beliau  adalah  orang  yang paling  sering  melaksanakan  puasa.  Beliau berpuasa  sehari dan berbuka  sehari  dan  sunnah ini  pun  akhirnya  dikenal  di  dalam  Islam  dengan nama Puasa Dawud. Apakah mungkin orang yang sibuk  dengan  ibadah  dan  banyak  puasanya dikatakan  sebagai  manusia  ’haus  seks’  –wal’iyadzubillah-?  Bahkan  bisa  jadi  orang-orang yang menghujat itulah yang sebenarnya haus seks sehingga  ia  menuduh  untuk  menyembunyikan sifat buruknya ini.

Gereja Dan Masyarakat Kristiani Zaman Dulu Mengenal Poligami
DR.  Muhammad  Fu’ad  al-Hasyimi,  mantan pemeluk kristiani yang akhirnya masuk Islam, di dalam  bukunya  ”Religions  on  The  Scales”  (hal. 109) berkata:
“Gereja telah mengenal praktek poligami sampai abad  ke-17.  Tidak  ada  satupun  dari  injil  yang empat  diketahui  adanya  larangan  yang  secara jelas melarang poligami. Perubahan terjadi ketika orang-orang  Eropa yang  bertaklid kepada  tradisi non  poligami  kaum  paganis  (hanya  beberapa kalangan saja yang diketahui melarang poligami, karena  mayoritas  masyarakat  Eropa  – sebagaimana  disebutkan  sebelumnya- mempraktekan  poligami  secara  luas, pen).  Ketika kaum  minoritas  anti  poligami  itu  masuk  agama kristen, tradisi mereka menggeser tradisi poligami dan  mereka  memaksakan  (tradisi  ini)  bagi penganut  kristen  lainnya.  Seiring  berlalunya waktu,  kaum  kristiani  mengira  bahwa  larangan poligami  itu  merupakan  esensi  ajaran  kristen, padahal hal ini berangkat dari sikap taklid kepada para  pendahulu  mereka,  yang  sebagian  orang (non  poligamis) memaksakannya  kepada  lainnya (tradisinya)  dan  akhirnya  terus  berlangsung selama  bertahun-tahun...”  [M.F.  Al-Hasyimi, Religions on The Scales hal. 109] Bahkan, kami bernani menantang kaum Kristiani untuk  menunjukkan  satu  buah  ayat  saja  dari “Kitab  Suci”  (?!)  mereka  yang  menunjukkan bahwa  poligami  itu  terlarang.  Jika  mereka  mau bersikap  obyektif,  bukankah  kitab  “Perjanjian Lama”  yang  diklaim  sebagai  Taurat  (Torah), membatalkan  klaim  mereka  yang  menolak poligami?!  Karena  kitab  “Perjanjian  Lama”  ini secara  eksplisit  menunjukkan  akan  adanya praktek poligami di kalangan para Nabi dan Rasul, mulai dari Prophet Abraham “the Friend of Allah” (Nabi  Ibrahim  Khalilullah),  Isaac  (Ishaq),  Jacob (Ya’qub), David (Dawud) dan Solomon (Sulaiman) ‘alaihimus  Salam  yang  kesemuanya  diklaim sebagai  Rasul  bagi  kalangan  Bani  Israil.  [ibid, dengan sedikit perubahan redaksi]

Islam Datang Membatasi Praktek Poligami Hanya Empat Isteri
Ketika  Islam  datang  dibawa  oleh  Rasulullah  al-Amin,  untuk  menyampaikan  Rahmat  bagi  alam semesta,  maka  Islam  tidak  melarang  poligami dengan  begitu  saja  dan  tidak  pula  membiarkan poligami  secara  bebas.  Islam  datang  dan membatasi poligami maksimal hanya 4 isteri saja. Zaman pra Islam telah mengenal poligami, bahkan poligami  bukanlah  suatu  hal yang asing  dimana ada  seorang  lelaki  beristiri  puluhan  bahkan ratusan wanita.
Datangnya Islam, membawa Rahmat bagi semesta alam  (Rahmatan  lil  ’Alamin).  Selain  membatasi poligami,  Islam  juga  menjelaskan  persyaratan-persyaratan  dan  kriteria  dianjurkannya berpoligami yang sebelumnya tidak ada. Masalah ini akan dibicarakan setelahnya –insya Allah-.
Diriwayatkan  oleh  Imam  Bukhari  rahimahullahu dengan  sanadnya  bahwa  Ghaylan  ats-Tsaqofi masuk Islam sedangkan dirinya memiliki 10 orang isteri.  Maka  Nabi  Shallallahu  ’alaihi  wa  Salam bersabda kepada beliau : ”Pilihlah empat orang saja dari isteri-isterimu.” Diriwayatkan  oleh  Imam  Abu  Dawud rahimahullahu  dengan  sanadnya  bahwasanya ’Umairoh al-Asadi berkata : ”Aku masuk Islam dan aku memiliki 8 orang isteri, lalu aku sampaikan hal ini kepada Nabi dan beliau pun bersabda : ”pilihlah empat diantara mereka”.”
Demikianlah,  mereka  melakukannya  sebagai pengejawantahan Firman Allah Azza wa Jalla :
”Apabila  kamu  takut  tidak  dapat  berbuat  adil terhadap anak yatim (yang hendak kamu nikahi), maka  kawinilah  wanita-wanita  (lain)  yang  kamu senangi : dua, tiga atau empat...” (QS an-Nisaa` : 3)

Sembilan Isteri Hanya Khusus Bagi Nabi
Ayat  3 Surat  an-Nisaa`  di atas merupakan  dalil yang terang dan tegas akan batasan jumlah isteri. Demikian pula dengan beberapa riwayat hadits di atas,  dimana  Rasulullah  memerintahkan  para sahabatnya  yang  baru  masuk  Islam  sedangkan mereka  memiliki  isteri  lebih  dari  empat  supaya menceraikan selebihnya. 
Adapun  9  isteri  yang  dimiliki  oleh  Rasulullah Shallallahu  ’alaihi  wa  Salam,  maka  ini  adalah kekhususan  yang  dimiliki  oleh  beliau  dan  tidak dimiliki  oleh  selain  beliau,  sedangkan  beliau berbeda  dengan  manusia  lainnya,  karena  beliau adalah orang yang ma’shum dan terpelihara dari kesalahan.  Kekhususan  beliau  ini  banyak, diantaranya  adalah  beliau  Shallallahu  ’alaihi  wa Salam dan keluarga beliau tidak boleh menerima zakat...
Adapun  yang  diklaim  oleh  Syiah  Rafidhah  dan aliran  sekte  sesat  lainnya  yang  menyatakan bahwa, penafsiran ayat di atas (QS 4:3) adalah : nikahilah  dua  atau  tiga  atau  empat  maksudnya dua + tiga + empat = sembilan, maka ini adalah penafsiran  yang  menyimpang  dan  menyeleweng dari Islam. Islam membatasi hanya 4 isteri dan ini adalah kesepakatan ulama Islam semenjak dahulu maupun sekarang.

Hanya Islam Yang Menyatakan ”(maka nikahilah) satu saja” dan Mensyaratkan Untuk Berlaku Adil Terhadap Isteri-Isteri
Allah Ta’ala berfirman :
”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap  (hak-hak)  perempuan  yang  yatim (bilamana  kamu  mengawininya),  Maka  kawinilah wanita-wanita  (lain)  yang  kamu  senangi  :  dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja,  atau  budak-budak  yang  kamu  miliki.  yang demikian  itu  adalah  lebih  dekat  kepada  tidak berbuat aniaya.” (QS an-Nisaa’ : 3)
Dari  Surat  an-Nisaa`  di  atas,  Al-Qur’an memerintahkan  untuk  berbuat  adil  dan  apabila tidak mampu berbuat adil (dalam hal nafkah, baik nafkah  lahiriyah  dan  batiniyah),  maka  Allah memerintahkan  untuk  menikahi  seorang  wanita saja, agar tidak terjatuh kepada perbuatan aniaya dan  kezhaliman.  Syariat  yang  mulia  ini menunjukkan  bahwa  poligami  bukanlah  syariat yang merupakan kewajiban yang harus dilakukan begitu  saja.  Namun  poligami  memiliki  syarat-syarat  dan  kriteria  yang  harus  dipenuhi  –yang akan  disebutkan  pada  risalah  berikutnya  insya Allah-.
Berbeda dengan syariat kaum terdahulu, mereka dapat  melakukan  poligami  bebas  berapa  saja mereka mau. Mereka pun dapat menikahi wanita-wanita walaupun mereka tidak bisa bersikap adil baik  di  dalam  nafkah  maupun  lainnya.  Mereka menganggap bahwa kaum wanita bagaikan hewan yang rendah, yang status mereka di bawah kaum lelaki dan dianggap sebagai makhluk inferior.

Poligami Itu Bukan Suatu Keharusan
Kaum kuffar  dan  orang  Islam yang  terpengaruh dengan  pemahaman  mereka,  ketika membicarakan  masalah  poligami,  mereka menganggap seakan-akan Islam mewajibkan bagi muslim  pria  untuk mempoligami  wanita  (baca  : poligini), dan mereka menjadikan hal ini sebagai citra  buruk  bagi  Islam.  Padahal  apabila  mereka mau  mengkaji  dengan  kaca  mata  obyektif  dan mempergunakan  akal  sehatnya,  niscaya  mereka akan  mendapatkan  bahwa  Islam  adalah  agama yang Rahmatan lil ’Alamien. 
Menurut  sebagian  fuqaha’  (ahli  fikih),  Hukum poligami  itu  sama  dengan  hukum  pernikahan, yang kembalinya kepada 5 kategori hukum :
1.  Fardh/Wajib,  apabila  poligami  tidak dilaksanakan,  suami  akan  jatuh  kepada keharaman, seperti perbuatan zina, selingkuh dan perbuatan asusila lainnya.
2.  Mustahab/sunnah,  apabila  suami mampu  dan memiliki  harta  yang  cukup  untuk  melakukan poligami, dan dia melihat ada beberapa wanita muslimah (janda misalnya) yang sangat perlu dinikahi untuk diberikan pertolongan padanya.
3.  Mubah/boleh,  apabila  suami  berkeinginan untuk  melakukan  poligami  dan  ia  cukup mampu untuk melakukannya.
4.  Makruh,  apabila  suami  berkeinginan  untuk melakukan  poligami  sedangkan  ia  belum memiliki  kemampuan  yang  cukup  sehingga akan kesulitan di dalam berlaku adil.
5.  Haram, apabila poligami dilakukan atas dasar niat yang buruk, seperti untuk menyakiti isteri pertama  dan  tidak  menafkahinya,  atau  ingin mengambil  harta  wanita  yang  akan dipoligaminya,  atau  tujuan-tujuan  buruk lainnya.
Dari 5 kategori ini, poligami dapat jatuh kepada 5 hal  di  atas.  Ia  dapat  menjadi  wajib,  mustahab (dianjurkan),  mubah  (boleh-boleh  saja),  makruh ataupun haram.
Oleh karena itu, menggeneralisir bahwa poligami itu wajib adalah suatu pendapat yang tidak benar. Demikian  pula  dengan menuduh  bahwa  poligami selalu  diawali  dengan  perselingkuhan  adalah pendapat  yang  bodoh,  yang  berangkat  dari ketidakfahaman akan syariat Islam yang mulia ini. Padahal, seringkali poligami itu menjadi solusi dan benteng dari terjadinya perzinaan, perselingkuhan ataupun keburukan lainnya; dan bisa jadi poligami itu menjadi penolong bagi para wanita dan janda-janda  yang  memerlukan  pelindung  atasnya  dan anak-anaknya.

Poligami Itu Solusi Dan Benteng Keburukan
Islam  adalah  agama  yang  komperehensif  yang memberikan  segala  solusi  permasalahan  hidup bagi manusia, yang mengatur kehidupan manusia di dunia dan mengarahkannya kepada kebaikan di akhirat.  Islam  menganjurkan  ummatnya  untuk menikah  dan  tidak  hidup melajang  sebagaimana bid’ah  (innovation)  yang  dilakukan  oleh  para rahib-rahib  dan  pendeta  katolik,  yang mengharamkan  atas  mereka  menikah.  Padahal menikah dan membagi kasih sayang adalah fitrah dan tabiat dasar manusia, yang mana telah Allah gariskan bagi makhluk-Nya. Perzinaan  (Adultery)  adalah  suatu  keharaman, bukan hanya menurut Islam, namun juga menurut agama-agama  lain  dan  akal  budi  yang  sehat.
Melajang tidak menikah, pun juga suatu hal yang haram,  karena  menyelisihi  dan  mengingkari fithrah  serta  tabiatnya  sebagai  manusia. Homoseksual baik itu gay (antar lelaki) atau lesbi (antar  wanita)  yang  sekarang  sedang  diisukan oleh  kaum  liberalis  humanis  dengan  atas  nama HAM (Human  Rights) adalah suatu perilaku yang jelas-jelas  menyimpang,  menjijikkan  dan menafikan akal sehat. 
Anehnya, kaum liberalis feminis, mereka membela kejahatan-kejahatan  yang  menjijikkan  ini  namun menolak syariat mulia poligami. Mereka mencerca bahwa  poligami  itu  merendahkan  wanita  dan menjadikan  wanita  sebagai  makhluk  inferior, padahal  mereka  sendiri  lebih  merendahkan wanita,  dengan  mengajak  kaum  wanita  untuk menafikan  akal  sehatnya,  menolak  fithrah  dan tabiatnya, melepaskan keimanannya dan menarik mereka masuk ke dalam lubang kehinaan.
Mereka lebih senang mengeksploitasi kaum wanita sebagai perhiasan umum dan properti publik, yang dapat  dikonsumsi  bebas  oleh  massa.  Lihatlah iklan-iklan  di  televisi,  bagaimana  wanita dieksploitasi besar-besaran hanya untuk menarik market  dan  meraih  profit  besar-besaran  suatu produk,  tampak  wanita  bagaikan  barang dagangan. Ironinya, wanita-wanita itu tidak malu, mereka  lebih  senang  menjadi  properti  umum daripada dipoligami oleh seorang pria.
Ada  lagi  yang  senang  menjadi  wanita  simpanan alias  gundik  atau  mistress.  Mereka  tidak  mau dinikahi sehingga mereka telah memangkas hak-hak  mereka sebagai  wanita  dan  isteri,  sehingga ketika sang lelaki idaman meninggal, ia tidak akan mendapatkan  hak  warisan  dan  perlindungan secara  legal  dari  pengadilan.  Di  lain  pihak,  ada sebagian  isteri  yang  lebih  tidak  ridha  memiliki suami  yang  berpoligami,  namun  menganggap bahwa  selingkuh  lebih  baik  daripada  harus berpoligami.  Mereka  lebih  senang  apabila  para suami  itu  jatuh  kepada  perzinaan,  dosa  dan keharaman daripada harus berbagi suami dengan wanita lain.

Sekelumit Di Balik Hikmah Poligami
Allah, sang pencipta alam semesta, adalah yang paling mengetahui apa yang terbaik bagi makluk-Nya.  Sehingga  syariat  dan  hukum yang Ia  buat dan  tetapkan,  pasti  adalah  yang  terbaik  bagi hamba-hamba-Nya.  Allah  mensyariatkan  dan memperbolehkan  poligami,  maka  tentu  saja banyak hikmah dan kebaikan yang terkandung di dalamnya,  walaupun  manusia  tidak mengetahuinya atau bahkan menentangnya.
Kita  ambil  sebuah  permisalan,  misalnya  kita membeli satu set televisi lengkap dengan panduan troubleshooting-nya,  kemudian  setelah  beberapa waktu televisi tersebut tidak dapat menyala. Kita hendak  memeriksa  kerusakan  televisi  tersebut sebelum dibawa kepada reparasinya. Apakah kita akan  menggunakan  panduan  troubleshooting resmi  dari  TV  tersebut  ataukah  kita  gunakan panduan  troubleshooting  lainnya,  misalnya panduan troubleshooting radio, kulkas atau merk TV lainnya?
Bagi  orang  yang  berakal,  ia  tentu  akan menggunakan buku panduan troubleshooting dari pabrik  TV  tersebut, karena  mereka  yakin  bahwa dikarenakan  pabrik  tersebut  yang  memproduksi TV itu, maka jelas pabrik tersebut yang lebih tahu tentang  seluk  beluk  TV  itu  sehingga  buku panduannya  lebih  utama  untuk  dirujuk.  Adapun yang  merujuk  buku  panduan  selain  dari  pabrik tersebut,  maka  sesungguhnya  ia  adalah  orang yang bodoh lagi dungu...
Demikian pula kurang lebih dengan syariat Allah – dan  bagi  Allah  permisalan  yang  lebih  tinggi-. Apabila kita dengan sesama manusia yang sama-sama lemah saja mau menerapkan aturan-aturan yang mereka buat, lantas mengapa kita tidak mau menerima  aturan  Allah  yang  lebih  tinggi,  lebih sempurna,  lebih  komprehensif,  lebih  lengkap, lebih  mulia  dan  lebih  mengetahui  mana  yang paling baik bagi manusia.
Dimanakah  kita  letakkan  akal  kita,  ketika  kita menggunggat  syariat  Allah  sedangkan  kita seringkali  pasrah  menerima  aturan  dan  hukum manusia?  Bahkan  lebih  dahsyat  lagi,  menerima pemikiran  kaum  kuffar  liberalis  dan  menolak hukum dan aturan Allah?! Dimana akal sehat kita, ketika  kita  menolak  dan  menghujat  syariat poligami yang merupakan sunnah Rasulullah dan para  Nabi,  namun  di  sisi  lain  kita  cenderung menerima budaya kuffar dengan kehidupan bebas liberal  yang  merendahkan  harkat  martabat manusia terutama kaum wanita?!!
Wahai  para  penghujat  dan  antipoligami... gunakanlah  akal  sehat  anda  dan  perhatikanlah sekelumit hikmah di balik syariat poligami ini :
1)  Rata-Rata  Jangka  Hidup  Kaum  Wanita Lebih Tinggi Dibandingkan Pria
Islamic  Research  Foundation  (Yayasan  Riset Islami) yang diketuai oleh DR. Zakir Naik, seorang ilmuwan Islam jenius, menyebutkan bahwa rata-rata  jangka  hidup  kaum  wanita  lebih  tinggi dibandingkan pria. Secara alami, pria dan wanita kurang lebih memiliki rasio kelahiran yang sama, namun  beberapa  penelitian  menunjukkan  bahwa anak  perempuan  lebih  memiliki  imunitas (kekebalan tubuh) yang lebih dibandingkan anak laki-laki.  Anak  wanita,  dilaporkan,  lebih  mampu melawan germs (sel bakteri atau patogen lainnya) dan  penyakit  dibandingkan  anak  laki-laki, sehingga selama fase pediatric (anak-anak) angka kematian  pada  anak  laki-laki  lebih  besar dibandingkan kematian pada anak perempuan.
Tinjauan  berikutnya,  selama  perang,  pria  lebih banyak  terbunuh  dibandingkan  wanita,  karena yang lebih banyak turun ke medan perang adalah pria dibandingkan wanita, sehingga jumlah janda meningkat  dan  angka  populasi  wanita  menjadi lebih  besar  dibandingkan dengan  pria.  Pria  juga lebih  banyak  mengalami  kecelakaan  dan  mati dibandingkan  wanita,  baik  kecelakaan  di  jalan raya  maupun  kecelakaan  kerja.  Pekerjaan  pria lebih  banyak  beresiko,  dimana  pria  banyak bekerja di kontraktor gedung, menghandle mesin-mesin  pabrik  dan  selainnya  yang  resiko kematiannya  lebih  besar  dibandingkan  pekerjaan wanita.
Secara  umum,  jangka  hidup  wanita  lebih  tinggi dibandingkan  pria,  sehingga  beberapa  sensus menunjukkan bahwa jumlah populasi wanita lebih besar dibandingkan jumlah populasi pria. 
2)  Populasi  Wanita  Di  Dunia  Lebih  Banyak Dibandingkan Pria
Masih  dalam  laporan  yang  sama  oleh  IRF, dilaporkan di Amerika Serikat (berikutnya disebut AS),  wanita  lebih  banyak  sekitar  7,8  juta orang dibandingkan  pria.  New  York  sendiri,  memiliki wanita lebih dari 1 juta orang dibandingkan pria. Inggris Raya memiliki 4 juta wanita lebih banyak dibandingkan pria, sedangkan Jerman memiliki 5 juta  lebih  banyak  dan  Rusia  9  juta  lebih.  Dan hanya  Allah-lah  yang  lebih  mengetahui  berapa puluh  atau  ratus  juta  wanita  di  dunia  ini  lebih banyak daripada pria.
Sebuah Pertanyaan : Lalu Kenapa Jika Wanita Lebih Banyak Daripada Pria?
 Ini mungkin pertanyaan yang akan muncul, yaitu : kenapa jika wanita lebih banyak dari pria?
Apakah ini menjadi alasan legal dibolehkannya poligami?
Jawaban : Ini sebagian alasan bahwa poligami itu adalah  suatu  hal  yang  practicable  (dapat diterapkan). Sekarang mari kita telaah…
Apabila jumlah wanita lebih banyak daripada pria, sedangkan Allah menciptakan makhluk-Nya dalam keadaan  berpasang-pasangan  dan  Allah mensyariatkan  atas  mereka  untuk  menikah  dan hidup  bersama  di  bawah  ikatan  yang  legal  dan terhormat. Maka tentu saja poligami itu aplicable.
Kita ambil contoh misalnya negara AS, di negara ini wanita lebih banyak sekitar 7,8 juta sedangkan di  New  York  sendiri  kaum  wanita  lebih  banyak lebih dari 1 juta orang. Data IRF juga menyatakan bahwa  sepertiga  pria di  New  York  adalah kaum Sodomi dan Gay, yang tidak berkeinginan untuk menikah  dengan  wanita.  AS  sendiri  secara keseluruhan memiliki kurang lebih 25 juta kaum gay.
Bahkan  seandainya  setiap  pria  di  AS  menikahi seorang wanita, maka tetap masih ada lebih dari 20  juta  wanita  di  AS  yang  tidak  bakal mendapatkan suami. Lantas siapakah yang akan menikahi  mereka? Apakah mereka  lebih memilih hidup melajang atau lesbi seks yang menjijikkan? Ataukah  menjadi  properti  publik  (barang dagangan  umum)?  Ini  tentunya  lebih  hina daripada  menjadi  isteri  sah  seorang  pria  yang telah menikah.
Anggaplah  misalnya  saudara  perempuan  anda adalah  salah  satu  wanita  yang  tidak  menikah tinggal  di  AS  karena  tidak  mendapatkan  pria lajang  yang  bisa  menikahinya.  Hanya  ada  dua pilihan  baginya  dan  tidak  ada  ketiga,  yaitu  ia menikahi seorang pria yang telah beristri atau ia menjadi  properti  publik  dengan  hidup  melajang. Tentu saja bagi orang yang memiliki akal sehat, menjadi  isteri  pria  yang  telah  menikah  adalah pilihan yang lebih baik, karena selain ia memiliki hak-hak legal sebagai isteri, ia juga mendapatkan hak perlindungan dan nafaqoh (nafkah).

 Para Pemikir Barat Merekomendasikan Poligami
Tidak  dinyana,  di  tengah-tengah  gencarnya aksi protes  dan  hujatan  terhadap  poligami,  para pemikir western setelah melakukan penelitian dan berangkat  dari  pengalaman  hidupnya,  turut merekomendasikan poligami.  Phillip Killbride, seorang Profesor Antropologi pada Bryn  Mawr College Pennsylvania  menulis  sebuah buku  yang  berisi  studi  tentang  poligami  yang berjudul  ”Plural  Marriage  for  Our  Times  – Reinvented  Options”  (Westport,  Connecticut: Bergin and Garvey: 1994). Ia melakukan sebuah studi  mendalam  tentang  poligami  dan dipaparkannya dalam seribuan halaman bukunya ini  dimana  Professor  Killbride  menunjukkan beserta  bukti  dan  contoh-contohnya  bahwa poligami  di  zaman  ini  memiliki  benefit (keuntungan) yang positif.
Audrey  Chapman,  seorang  family  therapist  and relationship  expert  (ahli  terapi  masalah keluarga dan  hubungan),  menulis  buku  “Man  Sharing  :
Dilemma  or Choice”  (New York:  William  Morrow and Co.: 1986) yang menunjukkan perbandingan baik  buruknya  poligami,  yang  akhirnya  dia menunjukkan bahwa poligami adalah opsi terbaik di  dalam  menanggulangi  masalah-masalah percintaan, keluarga dan moralitas.
Seorang  aktivis  pembela  hak-hak  wanita  dan mantan  pengacara, Adriana Blake, menulis  buku ”Women  Can  Win  The  Marriage  Lottery  :  Share Your Man With Another Wife – The Case For Plural Marriage” (Orange County University Press, 1996), merekomenasikan  bahwa  poligami  adalah  opsi terbaik  di  dalam  meninggalkan  kelajangan  dan memperoleh  hak-hak  hidup  yang  legal  dan terhormat di saat penipuan, kejahatan seksual dan degradasi moral terjadi. Annie  Besant,  seorang  pemikir  dan  ahli  teologi terkenal, yang namanya tidak asing bagi kalangan feminis dan liberalis atau pemerhati buku, dimana tidak  sedikit  karya  tulisnya  berjejer  di  rak-rak buku Islami, ia mengatakan 
“Anda  dapat  menemukan  orang-orang  lain menyatakan  bahwa  agama  (Islam)  ini  buruk, karena memperbolehkan poligami yang terbatas. Tapi  Anda  tidak  mendengar  lazimnya  kecaman yang saya lontarkan pada suatu hari di “London Hall” (Balai Pertemuan London) dimana saya telah mengetahui  bahwa  para  hadirin  ketika  itu  sama sekali  tidak  terkendali.  Aku  tunjukkan  pada mereka  bahwa  monogami  yang  disertai  dengan campuran  unsur  prostitusi  di  dalamnya  adalah suatu  kemunafikan  dan  lebih  hina  dibandingkan dengan  poligami  terbatas.  Secara  alami, pernyataan  seperti  itu  akan  mendapatkan penentangan, namun hal ini mau tidak mau harus dinyatakan, karena haruslah diingat bahwa hukum Islam  yang  berkaitan  dengan  wanita  hingga sampai  saat  ini,  ketika  beberapa  bagian  dari hukum  itu  ditiru  di Inggris,  adalah  hukum yang paling adil, sejauh mana (hak-hak) wanita (juga) dipedulikan,  (yang)  dapat  ditemukan  di  dunia, baik yang berkaitan dengan properti (barang/hak milik),  berkaitan  dengan  hak  warisan  atau selainnya, atau berkaitan dengan perceraian, dan ini  semua  berada  jauh  sebelum  hukum  Barat memberikan  respek  dan  mengatur  hak-hak wanita.  Semuanya  ini  dilupakan  ketika  mereka terhipnotis  dengan  kata-kata  monogami  dan poligami  dan  tidak  melihat   apa  yang  berada di belakangnya di dunia Barat – (ketika) perendahan wanita  secara  mengerikan  yang  dibuang  di jalanan, dimana pelindung pertama mereka bosan terhadap mereka dan tidak dapat lagi memberikan pertolongan  bagi  mereka…  Saya  sering  berfikir bahwa wanita lebih bebas di dalam Islam daripada di  kristiani.  Wanita  lebih  dilindungi  oleh  Islam daripada  keyakinan  yang  memuji  monogami. Di dalam al-Qur’an, hukum tentang wanita itu lebih adil dan liberal. Hanya baru pada abad dua puluh ini  negeri  Inggris yang kristiani,  mengenal  hak-hak  wanita  tentang  properti  (kepemilikan) sedangkan  Islam  memperbolehkan  hak (kepemilikan)  ini  pada  semua  waktu...”  [Annie Besant,  The  Life  and  Teachings  of  Muhammad (Madras:1932), hal. 25-26].
Apa  yang  dilontarkan  oleh  Annie  Bessant  ini adalah pernyataan yang jujur dan obyektif.  Demikian pula apa yang dinyatakan oleh Elizabeth Joseph, seorang  pengacara dan jurnalis  dari  Big Water  -  Utah,  yang  memberikan  ceramah  di National  Organization  for  Women  Conference (Konferensi Organisasi Nasional Bagi Wanita) yang berjudul : “Creating Dialogue : Women Talking to Women”  pada  bulan  Mei  tahun  1997.  ia memberikan pendapat positif tentang poligami. Ia mengatakan  bahwa  salah  satu  pahlawan wanitanya, yaitu Dr. Martha Hughes Cannon yang menjadi wanita pertama anggota dewan legislatif pada  tahun  1896,  bahwa  Dr.  Martha  ini  bukan hanya  seorang  dokter  namun  ia  juga  seorang isteri yang dipoligami.
Elizabeth juga berkata :
“Sebagai seorang jurnalis, aku seringkali bekerja dalam  waktu  yang  tidak  dapat  diprediksikan  di dunia  yang  serba  cepat  ini.  Beritalah  yang menentukan  jadwalku.  Tapi,  apakah  aku  pernah menelpon  rumah,  meminta  suamiku  untuk menjemput  anak-anak  dan memasak  sesuatu  di microwave  dan  menidurkan  mereka  pada waktunya, khawatir kalau-kalau aku nanti benar-benar  terlambat?  Karena  rencana  perkawinan poligami-ku-lah  aku  tidak  perlu  khawatir… sangatlah  membantu  untuk  berfikir  tentang poligami dalam bentuk pendekatan pasar bebas di dalam  menikah.  Kenapa  anda  atau  saudara perempuan  anda  tidak  mencoba  menikahi  pria terbaik  yang  pernah  ada,  tanpa  mempedulikan status perkawinannya?”

Poligami Tidak Dilakukan Tanpa Terkontrol
Wahai hamba Alloh, ketahuilah bahwa poligami itu tidak sekedar hanya untuk memelihara diri supaya jatuh  kepada  keharaman,  namun  poligami  itu lebih mulia dari itu. Poligami merupakan diantara sarana  untuk  menolong  kaum  wanita  yang kesusahan, semisal para janda yang miskin yang tidak  memiliki  penanggung jawab  dan  pelindung atasnya  dan anak-anaknya.  Poligami juga  untuk memelihara  kaum  wanita  dari  keburukan  dan kejelekan. Poligami bukan untuk ajang berbangga-bangga atapun hanya untuk hasrat sesaat belaka.
Wahai hamba Allah, ketahuilah bahwa poligami itu adalah  syariat  Allah  yang  mulia,  yang  Allah turunkan  untuk  kemaslahatan  umat  manusia. Poligami  tidak  asal  dilakukan  begitu  saja  tanpa mempertimbangan  kemaslahatan  dan kemadharatan, apalagi sampai membawa kepada penzhaliman  kepada  wanita  dan  penelantaran hak-hak mereka. Ketahuilah, bahwa ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang hendak  berpoligami, yang  apabila  tidak  dipenuhi maka  akan  terjadi  penzhaliman  kepada  kaum wanita dan penzhaliman kepada syariat poligami itu  sendiri.  Berikut  ini  adalah  kriteria  dan persyaratan seorang lelaki boleh berpoligami : 
1. Tidak Lebih Dari Empat Isteri Dalam Satu Waktu
Di dalam pembahasan sebelumnya, sebagaimana tertuang  dalam  al-Qur’an surat  an-Nisa`  ayat  3 dan  beberapa  hadits  yang  telah  lewat menunjukkan  bahwa  seorang  lelaki  tidak  boleh beristeri  lebih  dari  empat  dalam  satu  waktu. Kecuali apabila salah satu isterinya meninggal lalu ia menikah lagi. Allah  adalah  Sang  Kholiq  (Maha  Pencipta)  yang mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya.  Allah  juga  paling  mengetahui  mengapa  Ia memperbolehkan pria beristeri lebih dari satu dan membatasinya hanya empat isteri saja, tidak lebih dari  itu.  Syariat  Allah  yang  membatasi  poligami tidak  boleh  lebih  dari  empat  terkait  dengan Pengetahuan  Allah  Yang  Maha  Tinggi  tentang kemampuan  makhluk-Nya  dan  kemampuan mereka untuk dapat berbuat adil. Seorang muslim laki-laki tidak boleh beristeri lebih dari  empat.  Apabila  seorang  laki-laki  takut  dan khawatir  ia  tidak  dapat  berlaku  adil  apabila  ia memiliki isteri lebih dari satu, maka yang satu itu lebih baik baginya. Sama juga, bagi seorang pria yang telah beisteri dua orang dan ia tidak mampu lagi  berbuat  adil  apabila  ia  menikahi  seorang wanita lagi, maka yang dua itu adalah lebih baik baginya.  Juga  demikian  bagi  seorang  pria  yang memiliki tiga orang isteri. Apabila ia khawatir tidak mampu berbuat adil untuk menikahi empat isteri maka  hendaklah  ia  mencukupkan  dengan  yang tiga.  Adapun  seorang  pria  yang  telah  memiliki empat isteri, maka ia tidak boleh menikahi wanita lagi  walaupun  ia  yakin  ia  mampu  berbuat  adil terhadap  mereka  semua.  Karena  syariat  yang mulia telah membatasi jumlah maksimal poligami adalah empat. 
2. Memiliki Kemampuan Untuk Berpoligami
Seorang muslim yang tidak memiliki kemampuan untuk berpoligami maka ia terlarang berpoligami, karena  implikasinya  akan  membawa  kepada penzhaliman  terhadap  kaum  wanita  dan  anak-anak,  sedangkan  Allah  mengharamkan  segala bentuk  kezhaliman.  Dan  yang  dimaksud  dengan kemampuan  di  sini  adalah  kemampuan  berupa harta, kesehatan fisik dan mental/psikologi. Seorang  pria  yang  tidak  memiliki  kemampuan harta untuk memberikan nafkah kepada dua orang isteri, maka tentu saja mencukupkan diri dengan satu  isteri  itu  lebih  utama  dan  baik.  Seseorang yang  nekad  berpoligami  sedangkan  ia  tidak memiliki  kemampuan  harta  untuk  menafkahi isteri-isteri  dan  ana-anaknya,  tentu  saja  akan terjatuh  kepada  penzhaliman  kepada  isteri-isteri dan  anak-anaknya.  Kemampuan  finansial  ini merupakan  kriteria  mutlak  diperbolehkannya seseorang untuk berpoligami. Seorang muslim laki-laki haruslah sehat fisiknya, sehingga  ia  mampu  bekerja  untuk  memenuhi nafkah  isterinya.  Seorang  laki-laki  dengan kesehatan  fisiknya  niscaya  mampu  menafkahi isterinya  lahir  dan  batin.  Kesehatan  fisik  juga berkaitan  dengan  kemampuan  seksual.  Seorang pria  yang  mengalami  gangguan  di  dalam kemampuan seksualnya, misalnya impoten, maka dilarang  untuk  berpoligami.  Karena,  diantara hikmah  pernikahan  dan  poligami  adalah memelihara  kehormatan  dan  kemaluan,  apabila seorang pria  tidak  mampu  menafkahi kebutuhan batin  isterinya  maka  akan  menyebabkan terbelenggunya dan terlantarnya fithrah dan tabiat wanita  yang  pada  akhirnya  jatuh  kepada penzhaliman atasnya. Kesehatan  psikologi  lebih  mengacu  kepada kemampuan  di  dalam  memimpin  dan  mengatur keluarganya dengan keadilan. Seorang pria yang mengalami gangguan psikologi, seperti emosional, akan  menyebabkan  hilangnya  keadilan  di  dalam rumah tangga. Kesehatan psikologi juga mengacu kepada keistiqomahannya di  dalam  menjalankan agamanya. Seorang pria yang tidak istiqomah di dalam  melaksanakan  ajaran  agamanya,  maka akan  sangat  rentan  melakukan  tindakan ketidakadilan dan penzhaliman terhadap keluarga (isteri-isteri dan anak-anaknya). Oleh karena itu, poligami yang tidak dibangun di atas syariat dan sunnah  Nabi  akan  cenderung  jatuh  kepada keburukan  dan  kezhaliman  di  dalam  rumah tangga. 
3.  Dapat  Berlaku  Adil  Terhadap  Isteri-Isterinya
Allah Ta’ala berfirman :
“Apabila kamu takut tidak dapat berlaku adil maka (nikahilah) satu saja.”
Sedangkan  di  tempat  lain  Allah  Azza  wa  Jalla berfirman :
 “Dan  kamu  sekali-kali  tidak  akan  dapat  berlaku adil  di  antara  isteri-isteri(mu),  walaupun  kamu sangat  ingin  berbuat  demikian,  Karena  itu janganlah  kamu  terlalu  cenderung  (kepada  yang kamu  cintai),  sehingga  kamu  biarkan  yang  lain terkatung-katung.  dan  jika  kamu  mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka  Sesungguhnya  Allah  Maha  Pengampun  lagi Maha Penyayang.” (QS an-Nisa` : 129)
Ayat  129  dalam  surat  an-Nisa`  di  atas  sering dijadikan  argumentasi  oleh  kaum  anti  poligami bahwa  poligami  itu  sebenarnya  tidak  boleh. Karena Alloh mensyaratkan poligami itu harus adil sedangkan  Allah  sendiri  menyatakan  bahwa manusia  itu  tidak  mampu berlaku  adil  walaupun sangat  ingin  berbuat  demikian.  Benarkah demikian?  Benarkah  dua  ayat  di  atas  saling kontradiktif? Mari kita lihat penjelasan pakar tafsir al-Qur’an  terhebat  sepanjang  masa, yaitu Imam al-Qurthubi. Beliau rahimahullahu berkata : “Allah  Ta’ala  memberitakan  ketidakmampuan berlaku adil di antara isteri-isteri adalah di dalam kecondongan  tabiat  di  dalam  rasa  cinta,  jima’ (hubungan seksual) dan kecondongan hati. Allah Ta’ala  mensifati  manusia  bahwasanya  mereka secara  alami  tidak  memiliki  kecondongan  hati kepada  satu  wanita  dan  wanita  lainnya [maksudnya  hanya  bisa  condong  kepada  satu wanita  saja, pent.].  Oleh  karena  itulah  Nabi Shallallahu  ‘alaihi  wa  Salam  membagi  diantara isteri-isterinya dalam masalah nafkah secara adil, kemudian beliau bersabda : “Ya Allah, ini adalah pembagianku  yang  aku  miliki,  maka  janganlah Kau mencelaku atas apa Yang Kau Miliki namun tak  aku  tak  mampu  memilikinya.”...  kemudian Allah  Ta’ala  melarang  dari  berlebih-lebihan  di dalam  kecondongan,  Ia  berfirman  :  “Janganlah kamu  terlalu  condong”,  yaitu  janganlah  kamu berlaku  buruk  kepada  mereka  –sebagaimana diutarakan  oleh  Mujahid-  namun  tetapkan persamaan  di  dalam pembagian  dan  nafkah  dan ini adalah termasuk sesuatu yang dimampui.” [al-Jami’ li ahkamil Qur’an]. Yaitu, keadilan di dalam masalah pembagian dan nafkah. Adapun keadilan di dalam rasa cinta dan kecondongan  hati,  maka  ini  suatu  hal  yang manusia  tidak  mampu  berlaku  adil  seluruhnya. Namun, ketidakmampuan ini bukan artinya tidak ada  rasa  adil  seluruhnya.  Seluruh  isteri  tetap harus  disayangi  dan  dicintai,  diberikan perlindungan dan pengawasan yang sama, nafkah dan  giliran  jima’ yang sama.  Oleh karena  itulah Allah melarang dari kecondongan secara berlebih-lebihan sehingga menyebabkan isteri-isteri lainnya terkatung-katung.  Inilah  yang  dicela.  Adapun berupaya  tetap  berbuat  adil dan membagi kasih sayang  semampunya,  memberikan  nafkah  dan pembagian  yang  sama  rata,  maka  inilah  yang dimaksud dengan keadilan itu. Allahu  a’lam  bish showab.
Jadi,  seseorang  yang  terlalu  mencintai  isteri keduanya  sehingga  menelantarkan  isteri pertamanya, tidak memberinya nafkah yang layak dan sama dengan isteri kedua, tidak mendapatkan pembagian giliran yang sama dengan isteri kedua, tidak  mendapatkan  perhatian  yang  sama  dan seterusnya. Maka ini adalah suatu kezhaliman dan ketidakadilan  terhadap  isteri  pertama  tersebut, dan ini termasuk hal yang dilarang dan dicela oleh Allah, serta bukan suatu hal yang dituju di dalam Poligami.
4. Pembagian Terhadap Para Isteri Masalah  ini  berkaitan  dengan  poin  sebelumnya dan  penjabarannya.  Pembagian  yang  dimaksud menurut ulama Islam adalah pembagian di dalam pembagian  pangan,  sandang, papan dan  waktu. Kesemuanya  ini  harus  dilakukan  dengan  adil. Ketidakadilan di dalam pembagian ini merupakan salah  satu  tindakan  kezhaliman  terhadap  isteri dan  wanita  yang  menjadi  amanat  dan  tanggung jawabnya.  Semua  bentuk  pembagian  ini  juga harus  diberikan  kepada  anak-anak  dari  tiap isterinya.
Seorang yang berpoligami, apabila ia membelikan rumah  untuk  salah  seorang  isterinya,  maka  ia dituntut untuk memberikan hal yang sama pada isteri-isteri  lainnya,  kecuali  apabila  isteri-isteri lainnya  ridha.  Demikian  pula,  apabila  seorang suami  membelikan  pakaian  baru  untuk  salah seorang  isterinya,  maka  ia  juga  dituntut  untuk memberikan  hal  yang  serupa  pada  isteri-isteri lainnya.  Jangan  hanya  karena  kecondongan cintanya  kepada  salah  seorang  isteri  ia menelantarkan  isteri-isteri  lainnya  dan  berlaku tidak adil. Demikian  pula,  apabila  isteri  keduanya  diberi makan yang lezat dan bergizi, maka ia tidak boleh memberi makan isteri pertamanya seadanya yang kualitasnya  di  bawah  makanan  isteri  keduanya.
Semuanya harus dibagi secara adil. Termasuk pula pembagian  waktu  tidur  bersama  dan  jima’, semuanya  harus  dibagi  secara  adil  dan  atas keridhaan bersama. Anak-anak juga demikian, anak isteri kedua dan pertama  haruslah  diperlakukan  sama  dalam  hal kebutuhan makanan, pakaian, pendidikan dan lain sebagainya.  Jangan  sampai  terjadi  anak  isteri kedua  disekolahkan  di  tempat  pendidikan  yang berkualitas  sedangkan  anak  isteri  kedua disekolahkan  ditempat  yang  kualitasnya  buruk. Semuanya harus dilakukan dengan adil walaupun berat  dan  sulit.  Oleh  karena  itu,  apabila  tidak mampu berbuat  adil  maka  satu  isteri  itu adalah lebih  baik,  namun  apabila  mampu  maka berpoligami juga merupakan suatu hal yang mulia, apalagi  apabila  dibalik  poligami  itu  ada  unsur pertolongan kepada kaum wanita dan anak-anak terlantar.

Mencermati Hikmah Poligami Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam
Tidak ada manusia terbaik di muka bumi ini selain Rasullullah dan tidak ada manusia teradil di muka bumi ini selain Nabi yang mulia ‘alaihi ash-Shalatu was Salam. Beliau adalah qudwah (tauladan) bagi umat manusia yang tiada sesuatu keluar dari lisan dan perilaku beliau melainkan adalah wahyu yang diwahyukan kepada beliau. Kaum  kuffar  orientalis  dan  pembebeknya  dari kalangan liberalis sosialis feminis mencela beliau dengan  celaan  yang  jelek  dan  buruk.  Mereka mencela  Nabi  yang  mulia  Shallallahu  ‘alaihi  wa Salam  sebagai  manusia  biasa  yang  memiliki syahwat  besar  dan  kelainan  orientasi  seksual  –ma’adzallah-;  semua celaan  dan  hujatan keji  ini berangkat dari hasad, kedengkian dan kebodohan mereka terhadap figur yang mulia ini dan sejarah beliau.  Bagi  siapa  yang  menelaah  sejarah  dan perikehidupan beliau, niscaya akan mendapatkan bahwa apa yang beliau lakukan adalah bebas dari tuduhan-tuduhan  kaum  kuffar  yang  dengki  itu, sebagaimana  bebasnya  darah  serigala  dari  baju Yusuf  ‘alaihis  Salam.  Bagi  mereka  yang menggunakan  kaca  mata  obyektivitas  dan keadilan,  niscaya  mereka  akan  mendapatkan bahwa  pernikahan  Nabi  itu  adalah  pernikahan yang  berangkat  dari  upaya  untuk  ta`liful  Qulub (melunakkan  hati),  tatyibun  Nufus  (mengobati jiwa),  tamhidul  ardh  lid  da’wah  (membuka jalan dakwah), munasharah (menolong/membantu) dan yang terakhir adalah tathbiqu haqqohu ath-thabi’i (memenuhi  hak  beliau  sebagai  tabiat/fithrah manusia), karena beliau adalah manusia biasa dan bukanlah seorang malaikat yang tidak berhasrat. 
Kami  telah  menyebutkan  di  awal  pembahasan bahwa menikah merupakan sunnah para Nabi dan tabiat mendasar manusia. Bahkan Isa (Jesus) dan Yahya  (John  The  Baptist)  yang  diklaim  kaum Kristiani tidak menikah, tetap tidak menunjukkan akan adanya larangan menikah dan poligami baik di dalam empat injil (gospels) maupun di dalam bible,  dan  mereka  pun  tidak  akan  mampu menunjukkannya, walau menurut keyakinan kami kitab injil tersebut telah ditahrif (diubah-ubah). Kita  lihat,  isteri  pertama  Rasulullah  adalah Khadijah  binti  Khuwailid  radhiyallahu  ‘anha, seorang  janda  Abu  Hala  Hind  bin  Nabbasy  at-Tamimi, lalu ketika Abu Hala meninggal, Sayyidah Khadijah  menikah  dengan  ‘Atiq  bin  ‘Abid  al-Makhzumi. Rasulullah  menikahi  beliau  pada  usia 25 tahun sedangkan Sayyidah Khadijah berusia 40 tahun.  Perhatikanlah  wahai  kaum  yang  berakal, Rasulullah selama 25 tahun masa lajangnya, yang dikenal  dengan  orang  yang  jujur,  amanah  dan menjaga diri beliau dari keburukan, tidak pernah berhubungan dengan wanita dan wanita pertama yang  beliau  nikahi  adalah  Khadijah.  Apabila Rasulullah  Shallallahu  ‘alaihi  wa  Salam  adalah seorang yang gila wanita dan syahwatnya besar –ma’adzallah, semoga Allah melaknat kaum yang berkata  demikian-  niscaya beliau akan  menikahi wanita-wanita pada usia remaja dimana kaumnya saat itu telah terbiasa dengan pernikahan poligami tidak  terbatas  dan  menikah  pada  usia  muda.
Perkawinan pertama Rasulullah dengan Sayyidah Khadijah  berlangsung  hingga  tahun  sepuluh kenabian atau tiga tahun menjelang hijrah. Sepeninggal  Khadijah  radhiyallahu  ‘anha, Rasulullah  Shallallahu  ‘alaihi  wa  Salam  ditawari oleh  Khaulah  binti  Hakim  untuk  menikahi  salah satu  dari  dua  orang  wanita,  satu  perawan (Aisyah),  dan  satu  lagi  janda  (Saudah),  dan lihatlah!!!  Rasulullah  lebih  memilih  menikahi Saudah bintu Zam’ah radhiyallahu ‘anhu, seorang janda dari Kasron bin ‘Amru bin ‘Abdi asy-Syams yang  merupakan  sepupunya  sendiri.  Sayyidah Saudah ini berbadan gemuk dan berkulit hitam –Allahumma,  kami  tidak  bermaksud  sedikitpun mencela  penampilan  fisik  Sayyidah  Saudah, dimana beliau adalah diantara wanita terbaik dan ahli surga, ibu kami kaum mukminin-. Rasulullah mau menikahi Sayyidah Saudah yang jauh lebih tua  dan  seorang  janda  yang  memiliki  anak banyak.  Apabila  Rasulullah  menikahi  wanita hanya  untuk  mengumbar  syahwat,  niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak akan menikahi Sayyidah Saudah radhiyallahu ‘anha. Sayyidah  Aisyah  binti  Abu  Bakar  adalah  isteri ketiga  Nabi  Shallallahu  ‘alaihi  wa  Salam.
Pinangan  Rasulullah  atas  Aisyah  telah menyelamatkan  Abu  Bakar  dari  dilema  antara menikahkan putrinya dengan seorang kafir atau mengingkari  janjinya  kepada  Muth'im  bin  ‘Adi orang tua dari pemuda kafir tersebut yang telah dijanjikan  untuk  menikahi  putrinya.  Sungguh beruntung bahwa yang terjadi justru istri Muth'im bin  ‘Adi  tidak  menghendaki  anaknya  menikahi Aisyah  karena  tidak  menginginkan  anaknya masuk  agama  baru  yang  dibawa  Nabi,  maka pinangan Rasulullah pun diterima. Hal itu terjadi pada  tahun  yang  sama  -sepuluh  kenabian-, namun baru berkumpul pada saat di Madinah tiga tahun  kemudian-.  Sejarah  mencatat  perbedaan pendapat tahun berapa Sayyidah ‘Aisyah dinikahi dan digauli, mulai usia 9-15 tahun. Namun suatu hal yang perlu dicatat, pernikahan dini usia muda ketika  wanita  telah  mencapai  baligh,  bukanlah suatu  penyakit  pedofili atau  kelainan  seksual  –ma’adzallah-,  namun  ini kembali  ke kultur adat dan  budaya  setempat.  Kaum  Quraisy  telah terbiasa menikahkan puteri mereka yang berusia belia,  terutama  kepada  orang  yang  mereka hormati.
Sensitifitas modern kadang merasa risih dengan hal ini, tapi hal ini terjadi pada satu komunitas yang  memandang  usia  9-15  th,  adalah  usia terendah  bagi  seorang  anak  perempuan  untuk dikawini, itupun 14 abad yang lalu. Hingga akhir-akhir  inipun  beberapa  komunitas  masih memberlakukan  adat  pernikahan  dini.  Namun demikian pernikahan anak usia dini adalah lebih baik  ketimbang  merebaknya  pergaulan  bebas yang  membuat  anak  usia  tersebut  sudah  tidak ada  yang  perawan,  walaupun  secara  resmi mereka  menikah  pada  usia  28  ke  atas.  Toh kenyataannya  usia  28  sebagai  patokan perkawinan  di  beberapa  negara  maju  hanya berdasarkan faktor psikologis dan masalah karir serta  emansipasi,  namun  diluar  formalitas  itu kebejatan  seksual  merebak  dimana-mana  pada tingkat yang paling vulgar. Perbandingannya jika ada  komunitas  (manapun)  yang  mengawinkan putrinya pada usia dini di Amerika anak usia yang sama sudah tidak perawan lagi. Perbedaan dalam agama,  yang  satu  formal,  yang  satu  lagi  zina. Perzinaan  sejak  dini  akan  dibawa  hingga  masa perkawinan,  maka  akibatnya  penyelewengan suami  atau  istri  adalah  hal  biasa,  dan  ajaran Yesus yang tidak mengizinkan perceraian menjadi lelucon belaka. [Irene Handono, Menjawab Buku “The Islamic Invasion”, versi CHM download dari www.pakdenono.com]
Isteri  keempat  Rasulullah  Shallallahu  ‘alaihi  wa Salam adalah Hafshah binti ‘Umar bin Khaththab, janda dari Khunais bin Hudzafah as-Sahmi yang masuk  Islam  dan  berhijrah  ke  Madinah bersamaan  dengan  Sayyidah  Hafshah.  Beliau radhiyallahu ‘anhu syahid di perang Uhud. Ketika selesai  masa  ‘iddah-nya,  ‘Umar  menawarkan puterinya  kepada  Sahabat  agung  Abu  Bakr namun  Abu  Bakr  diam  tidak  meresponnya, sehingga marahlah ‘Umar. Lalu beliau datang ke Sahabat  agung  ‘Utsman  bin  ‘Affan  dan menawarkan  puterinya  kepadanya,  namun ‘Utsman tidak menyetujuinya sehingga murkalah ‘Umar.  Melihat  hal  ini,  Abu  Bakr  mendatangi Rasulullah  Shallallahu  ‘alaihi  wa  Salam  dan mengadu  kepada  beliau,  lalu  Rasulullah Shallallahu  ‘alaihi  wa  Salam  sendiri  yang melamar  Hafshah  dan  menikahinya  sebagai penghormatan  dan  pemuliaan  kepada  ‘Umar sebagaimana Rasulullah menikahi ‘Aisyah sebagai penghormatan kepada Abu Bakr. Setelah itu Abu Bakr  pun  berkata  kepada  ‘Umar  bahwa  beliau diam  tidak  mau  menjawab  permintaan  ‘Umar karena  Abu  Bakr  pernah  mendengar  bahwa Rasulullah menyebut-nyebutnya...
Demikianlah pernikahan nabi dengan para isteri sahabat-sahabat  yang  mulia  ini  radhaiyallahu ‘anhum  ajma’in,  dan  beliau  tidaklah  menikahi mereka  melainkan  diantaranya  adalah  sebagai penghormatan  dan  pemuliaan  kepada Abu Bakr dan  ‘Umar  radhiyallahu  ‘anhuma.  Siapakah gerangan  yang  tidak  menginginkan  puterinya dinikahi  oleh  manusia  terbaik  dan  teragung sepanjang masa? Siapakah gerangan yang tidak ingin dinikahi oleh manusia terbaik dan teragung sepanjang zaman?
Sayyidah  Zainab  binti  Khuzaimah  yang  digelari Ummu  Masakin  (Ibunya  kaum  miskin) radhiyallahu ‘anhu adalah isteri kelima Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Beliau adalah janda dari Thufail bin al-Harits bin ‘Abdul Muthallib yang menceraikannya,  lalu  dinikahi  oleh  sepupu Rasulullah Shallallahu  ‘alaihi  wa  Salam ‘Ubaidah bin  al-Harits  yang  juga  saudara  mantan suaminya, dan beliau syahid pada perang Badar meninggalkan seorang isteri yang menjadi janda tidak ada lagi yang melindunginya. Maha Besar Allah,  apakah  menjaga  dan  menikahi  janda sahabat dan sepupu Nabi yang syahid merupakan suatu bentuk kelainan seksual dan gila wanita?!! Apakah  suatu  bentuk  mengikat  jalinan silaturrahim kepada keluarga sahabat dan syahid dengan memberikan  hak-hak  pemeliharaan  dan perlindungan atasnya adalah suatu keburukan?!! Dimanakah gerangan akal kaum yang berakal?!! Allahumma,  Sayyidah  Zainab  pun  meninggal beberapa  bulan  setelah  pernikahannya  dengan Rasulullah Shallallahu  ‘alaihi  wa  Salam. Semoga Allah  meridhainya  dan  menjadikannya  bidadari surga.
Isteri  berikut  Nabi  yang  mulia  adalah  Ummu Salamah  radhiyallahu  ‘anhu  yang  nama  asli beliau adalah Hindun bintu Suhail bin al-Mughiroh yang seorang janda dari Abu Salamah ‘Abdullah bin ‘Abdul Asad al-Makhzumi radhiyallahu  ‘anhu yang syahid di dalam peperangan Sariyah Qothn setelah sebelum sebelumnya beliau terluka para dalam  peperangan  uhud.  Abu  Salamah radhiyallahu  ‘anhu meninggalkan isteri dan anak yang  banyak.  Setelah  masa  iddah  berlalu, Sayyidah  Ummu  Salamah  radhiyallahu  ‘anha dipinang oleh Abu Bakr dan ‘Umar namun beliau menolaknya.  Demikian  pula  ketika  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam meminangnya, beliau juga  menolak.  Alasan  penolakan  beliau  adalah karena  beliau  adalah  wanita  yang  sudah  tua, banyak  anak  dan  pencemburu.  Mendengar  ini, Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa Salam pun menjawab : “Adapun mengenai sifat pencemburumu semoga Alloh  menghilangkannya,  mengenai  umurmu yang  sudah  tua  maka  aku  sendiri  lebih  tua darimu,  dan  adapun  mengenai  anak-anakmu yang  yatim  maka  itu  tanggungan  Alloh  dan Rasul-Nya.”  [Lihat  Sunan  an-Nasa`i,  Kitabun Nikah, Juz VI hal 81; melalui Zaujaat La ‘Asyiqot, op.cit.]. Dalam  pembentukan  komunitas  baru  yang menjadikan  keluarga  dan  perkawinan  sebagai salah  satu  instrumennya,  maka  perhatian terhadap  janda  dan  anak-anak  yang  ditinggal ayah  mereka  yang  syahid  akibat  peperangan adalah  suatu  yang  sudah  semestinya,  apalagi kesempatan mendapatkan kebutuhan sehari-hari di  tanah  yang  gersang  tidaklah  semudah  yang dibayangkan, tidak heran jika ada yang menjual manusia  dipasar  budak  demi  mencukupi kehidupan  sehari-hari.  Langkah  Rasulullah  yang juga  diikuti  para  sahabatnya  untuk memperhatikan  para  janda  dan  anak-anaknya, tampak  dalam  beberapa  perkawinan  yang  kita sebutkan di atas. [Irene Handono, op.cit]
Adapun  mengenai  isteri  beliau,  Ummu  Habibah Ramlah bintu  Abi Sufyan  bin  Harb  radhiyallahu ‘anha,  ada  sebuah  kisah  yang  perlu  dijelaskan tentang  latar  belakang  pernikahannya  dengan Rasulullah  Shallallahu  ‘alaihi  wa  Salam.  Ummu Habibah  adalah  isteri  ‘Ubaidillah  bin  Jahsyi  bin Khuzaimah, yang turut berhijrah dengan isterinya ke  Habasyah  (Abesinia)  pada  hijrah  kedua. Namun  terjadi  fitnah  dimana  ‘Ubaidillah  suami Ummu  Habibah  murtad  keluar  dari  Islam  –wal’iyadzubillah- sedangkan Ummu Habibah tetap kokoh  di  atas  keislamannya.  Beliau  (Ummu Habibah)  tidak  dapat  kembali  ke  Makkah dikarenakan ayahanda beliau, Abu Sufyan adalah termasuk  pembesar  Quraisy  yang  senantiasa berupaya  mencederai  Nabi  dan  para  sahabat beliau.  Seandainya  Ummu  Habibah  kembali  ke Makkah,  akan  membahayakan  agama  dan keadaannya.  Oleh  karena  itu  haruslah memuliakan dan  membebaskan  Ummu  Habibah dari suaminya yang telah murtad kemudian mati di Habasyah. Lalu Nabi Shallallahu  ‘alaihi  wa  Salam mengirim surat  kepada  Najasyi  (Negus)  Raja  Habasyah yang  telah  masuk  Islam,  memintanya  untuk menjaga Ummu  Habibah. Setelah hijrahnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam ke Madinah, Najasyi mengirimkan  Ummu  Habibah  kepada  Nabi Shallallahu  ‘alaihi  wa  Salam  dengan  penuh penghormatan.  Ketika  Abu  Sufyan  mendengar bahwa  puterinya  dinikahi  oleh  Muhammad Shallallahu  ‘alaihi  wa  Salam,  begitu  riang  dan gembiranya  dirinya  dan  mengakui  bahwa Muhammad  adalah  menantu  terbaiknya  yang pernah  ia  miliki,  walaupun  ia  memusuhi Muhammad  dan  agamanya...  [Thobaqot  Ibnu Sa’d, juz VIII, hal. 109 dst.; melalui Zaujaat Laa ‘Ayisqoot, op.cit.].
Wahai  kaum  yang  berakal,  apakah menyelamatkan  seorang  wanita  yang  tengah bertahan  mempertahankan  aqidahnya  dengan menikahinya,  menjaganya  dan  melindunginya dari suaminya yang murtad dan bapaknya yang masih musyrik saat itu merupakan tindakan gila wanita dan bersyahwat besar??!!! Na’udzubillah!!
Pergunakanlah akal anda wahai kaum...
Pada tahun ke-5 H. Rasulullah menikahi, Zainab binti  Jahsy,  setelah  diceraikan  oleh  Zaid  bin Haritsah yang diangkat anak oleh Rasulullah pada masa sebelum kenabian, dan dinikahkan dengan kerabat  Rasulullah  Zainab  yang  tentu  saja memiliki  nasab  tinggi  di kalangan  Quraisy  [dari pihak ibu Zainab adalah sepupuh nabi atau cucu Abdul Mutholib]. Pada masa itu masalah nasab (keturunan)  sangatlah  diperhatikan  oleh masyarakat Arab. Pencapaian ketinggian derajat nasab seringkali diupayakan melalui perkawinan, maka tidak heran jika satu orang bisa memiliki istri banyak, bukan sekedar karena mereka suka, tapi  para  istri  memiliki  kepentingan  sendiri dengan  pernikahan  tersebut,  termasuk  untuk masalah  nasab,  apalagi  bahwa  penghormatan kepada  wanita  pada  masa  itu  amatlah  rendah. Fenomena tersebut tldaklah aneh saat itu, karena bangsa lain juga memiliki adat yang tidak jauh berbeda.  Bahkan  hingga  saat  ini  masalah keturunan  sangat  diperhatikan,  terlepas  dari pandangan  yang  melatar-belakangnya:  apakah karena  status  sosial,  kekayaan,  atau kebangsawanan;  di  kalangan  muslim  sebagian memandang  nasab  berdasarkan  kesalehan beragama.
Kembali  pada  masalah  perkawinan  Sayyidah Zainab radhiyallahu  ‘anha, Rasulullah yang ingin merombak  adat  tersebut,  demi  tujuan  pokok menyamakan  umat  manusia  di  hadapan  Allah (tauhid),  mencoba  mempertemukan  antara bangsawan dan mantan budak (walaupun sudah diangkat  anak), rupanya  hal  itu  belum  mampu meruntuhkan rasa kebangsawanan Zainab hingga perkawinan tersebut gagal.  Namun  demikian  tanggung  jawab  Rasulullah menghendaki beliau untuk menikahinya. Lain dari pada itu bahwa pernikahan tersebut atas perintah langsung dari Allah, sebab sebelumnya setiap kali Zaid  mengadu  kepada  Rasulullah  atas  sikap Zainab,  Rasulullah  menasehatinya  agar mempertahankan  perkawinannya  serta  takut kepada  Allah.  Dengan  begitu,  tidak  hanya masalah  tanggung  jawab  Rasulullah mengembalikan  Zainab  yang  merasa martabatnya telah terendahkan, namun menjadi panutan  hukum  bahwa  anak  angkat  tidaklah sama  dengan  anak  kandung,  maka  istri  yang telah  diceraikannya  boleh  dinikahi  bapak angkatnya.  Namun  sebaliknya  wanita  yang diceraikan  oleh  seseorang  tidak  boleh  dikawini anaknya. [Irene Handono, op.cit.]
Menurut Ibnu Ishaq, seorang dari sejarawan awal Muslim, Pada tahun ke 6 H. terjadi peperangan antara  kaum  Muslim  dengan  kaun  Yahudi  Bani Mushthaliq. Akibat peperangan ini, sebagaimana hukum peperangan yang berlaku saat itu, mereka yang  kalah  menjadi  tawanan  dan  budak  bagi pemenang.  Diantara  mereka  yang  tertawan adalah  Juwairiyah  binti  al-Harits,  seorang  putri dari  al-Harits  bin  Abi  Dlorror  pemimpin  Bani Mushtholiq.  Sebagai  putri  seorang  terpandang Juwairiyah  tidak  rela  dirinya  dijadikan  budak, maka ia berniat menebus kepada Tsabit bin Qois yang kebetulan saat pembagian harta rampasan mendapat  dirinya.  Karena  tidak  memiliki  harta lagi,  maka  ia  pergi menghadap  Rasulullah  agar dibantu  melunasi  tebusan  tersebut.  Rasulullah yang telah mengajarkan kepada para sahabatnya agar  mendidik  budak  dan  kalau  bisa memerdekakan  dan  menikahinya  (lihat  bahasan tentang  perbudakan),  memberikan  contoh dengan  memerdekakan  Juwairiyah  dan menawarkan  pinangannya,  ternyata  Juwairiyah mengiyakan.  Dengan  persetujuan  Juwairiyah  ini maka  Rasulullah  menikahinya,  dan  dengan pernikahan  tersebut  para  sahabat mengembalikan  harta  rampasan  perang, sekaligus  memerdekakan  ±  100  keluarga. Ibnu Ishaq mengomentari: "Saya tidak pernah melihat keberkahan  seseorang  atas  kaumnya  melebihi Juwairiyah". [Ibid]
Pada  tahun  ketujuh  H,  terjadi  perang  Khaibar. Pada  saat  penyerbuan  ke  benteng  al-Qomush milik  bani  Nadlir,  pemimpin  benteng  ini  yaitu Kinanah  bin  Rabi'  suami  Shofiyah  binti  Hay terbunuh. Dan istrinya juga istri-istri bani Nadlir yang  lain  menjadi  tawanan.  Dan  seperti  yang pernah  dilakukan  oleh  Rasulullah  terhadap  bani Mushtholiq, maka Rasulullah menikahi Shofiyah. Menurut  keterangan  Shofiyah  sendiri,  yang diceritakan  oleh  Ibnu  Ishaq  bahwa  sebelum kejadian ini ia telah bermimpi melihat bulan jatuh di  kamarnya.  Ketika mimpi  tersebut  diceritakan kepada suaminya, ia malah mendapat tamparan dan  dampratan,  "Itu  berarti  engkau menginginkan  raja  Hijaz  Muhammad",  kata suaminya.  Tentang  apakah  harta  dikembalikan dan tawanan dibebaskan dengan perkawinan ini, tidak  kami  dapatkan  keterangan  yang  jelas, namun  diceritakan  bahwa  mahar  perkawinan tersebut  adalah  pembebasan  Shofiyyah.  Walaupun  masih  muda,  usia  17  th,  tapi sebelumnya  Shofiyah  telah  menikah  dua  kali, dengan  Salam  bin  Misykarn  kemudian  dengan Kinanah bin Rabi'. [ibid].
Dari  dua  perkawinan  di  atas,  dapat  kita  lihat bahwa  upaya  pembebasan  perbudakan  -akibat peperangan- lebih menonjol ketimbang masalah lainnya. Di sisi lain dua pernikahan ini semakin mengokohkan  kedudukan  Muslim  dalam  rangka pembentukan  komunitas  bersama  yang  tidak saling  bermusuhan.  Selanjutnya, bahwa  melihat usia  Shofiyah  yang  masih  17  th.  dan  sudah menikah  dua  kali,  setidaknya  menunjukkan bahwa selain masyarakat Arab, komunitas Yahudi yang  tinggal  di  Khaibar  juga  memiliki  adat mengawinkan seorang  wanita  sejak  masih  dini. [ibid].
Pada  tahun  ketujuh  Hijriah  ini  juga,  utusan Rasulullah  ke  Iskandariah-Mesir  telah  datang dengan membawa hadiah dua orang budak dari Mesir,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar