Bismillahirrahmaanirrahiim,
Poligami merupakan nizham
(peraturan/syariat) di dalam Islam yang semenjak
dahulu dijadikan sasaran bulan-bulanan oleh kaum
orientalis dan kuffar untuk menghantam dan
mencela agama Islam dan Rasulullah Shallalallahu
’alaihi wa Salam. Bahkan semenjak zaman
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam, kaum kafir Yahudi
sudah mulai menghembuskan celaan-celaan dan
hujatan-hujatan kepada Nabi dan syariat
Poligami ini.
Diriwayatkan oleh
’Umar Maula (mantan budak) Ghufroh [dia berkata] :
”Orang Yahudi berkata ketika melihat Rasulullah
menikahi wanita : Lihatlah orang yang tidak
pernah kenyang dari makan ini, dan demi Allah, ia tidaklah punya
hasrat melainkan kepada para wanita.” [Thobaqot al-Kubra
karya Ibnu Sa’ad, juz VIII hal. 233, melalui perantaraan
Hamdi Syafiq, Zaujaat Laa Asyiiqoot at-Ta’addudi asy-Syar’i
Dhorurotul Ashri]. Mereka -kaum Yahudi- mendengki kepada
Rasulullah dan ketika mereka melihat Rasulullah
berpoligami maka mereka jadikan hal ini sebagai sarana untuk
menjatuhkan dan merendahkan beliau ’alaihi
Sholatu wa Salam. Mereka menyebarkan kedustaan dengan berkata
: ”Kalau seandainya Muhammad itu benar-benar seorang
Nabi, niscaya ia tidak akan begitu
berhasrat kepada wanita.” [ibid].
Diantara para
pencela tersebut adalah seorang orientalis klasik yang
bernama Ricoldo De Monte Croce (w. 1320 M) yang
menulis buku “Contra Sectam Mahumeticam Libellius” (Menentang Gaya
Hidup Sekte Muhammadanism), ia menyebut agama
Islam sebagai Muhammadisme yaitu agama yang
diciptakan oleh Muhammad Shallallahu ’alaihi wa Salam, selain itu
dengan keji orang laknat ini menyebut Rasulullah
sebagai setan antikristus yang amoral dan gila seks. Dia menuduh Rasulullah
dengan tuduhan-tuduhan keji –semoga Alloh mengutuknya-. [Harmutz
Bobzin, A Treasury of Heresies hal. 16]. Apa yang
dipaparkan oleh De Monte Croce ini, diikuti
oleh seorang reformis agama kristiani, pencipta aliran
Protestanisme, Martin Luther yang menterjemah karya Ricoldo
ke dalam bahasa Jerman. Ia memiliki
pandangan yang sama dengan Ricoldo, menghina
Islam dan Rasulullah dan menuduh beliau Shallallahu
‘alaihi wa Salam dengan tuduhan keji dan dusta. [ibid]
Mereka –semoga
Allah melaknatnya dan membinasakan mereka-, mencela Nabi yang mulia
’alaihi Sholatu wa Salam dengan celaan yang keji. Seakan-akan Rasulullah adalah
manusia yang ’gila dengan wanita’ –wal’iyadzubillah-,
dan tuduhan-tuduhan keji ini terus berlangsung secara estafet,
hingga kepada para orientalis kuffar, yang
akhirnya turut merasuk dan mengkontaminasi
pemikiran sebagian kaum muslimin yang terpukau dengan hadharah (peradaban)
barat yang buruk, mengungkit-ungkit syariat –bahkan
menghujatnya- dan menganggap bahwa syariat Islam
itu barbar dan tidak manusiawi (merendahkan kaum
wanita). Allahul Musta’an.
Pemahaman ini pun dibawa dan
dikumandangkan oleh para cendekiawan (baca :
cendawan) muslim(?) yang menggembargemborkan madzhab bid’ah
liberalisme, sosialisme islam, feminisme, dan
isme isme lainnya yang merupakan produk impor
dari sampah pemikiran (afkar/thought) dan peradaban (hadharah/civilitation)
kaum herecies (kuffar), semisal Hasan Hanafi, Syed Hossen Nasr,
Nasr Abou Zaed, Khaled Abou Fadl, Mohamed
Arkoun, Fatima Mernissi, Amina Wadud, dan selain mereka dari
kaum zanadiqoh, para pengagum kesesatan dan bid’ah. Penulis
katakan, apabila ada orang yang mencela poligami, maka pada
hakikatnya ia mencela syariat Islam itu sendiri, bahkan ia mencela
sang Pembuat Syariat, Allah Azza wa Jalla
Sang Pencipta : yang menciptakan alam
semesta dan makhluk-Nya secara berpasang-pasangan, yang
menurunkan syariat poligami bagi hamba-hamba-Nya dan Dia Maha
Mengetahui atas kebaikan bagi makhluk-makhluk-Nya, sedangkan
makhluk-Nya tidak memiliki pengetahuan melainkan hanya
sedikit saja yang tidak lebih dari setetes air di samudera. Akan tetapi
kebanyakan manusia itu sombong dan membangkang, mereka lebih
mengagungkan akalnya ketimbang mengagungkan Allah
dan syariat-Nya, apa yang menurut mereka
buruk maka mereka anggap buruk, padahal
betapa sering terjadi apa yang mereka anggap buruk
ternyata baik di sisi Allah, dan apa yang mereka anggap baik ternyata buruk
di sisi Allah, dan Allah adalah lebih
mengetahui daripada mereka...
Para Nabi dan Rasul
Melakukan Poligami
Orang yang mengatakan bahwa
poligami itu sama dengan selingkuh, maka secara tidak langsung ia menuduh bahwa
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam itu juga selingkuh, bahkan
para nabi dan rasul juga selingkuh. Nabi-nabi yang
diakui oleh umat Yahudi dan Kristiani, dan
termaktub di dalam kitab suci mereka –walau
telah ditahrif / diubah-ubah- juga melakukan
poligami. Nabi Ibrahim (Abraham) ’alaihi Salam,
memiliki beberapa orang isteri, diantaranya adalah : Sarah (Sara)
yang melahirkan Ishaq (Isaac) –kakek buyut
bangsa Israil- dan Hajar (Hagar) yang melahirkan
Ismail (Ishmael) –kakek buyut bangsa Arab- ’alaihimus Salam. Nabi Ya’qub
(Jacob) ’alaihi Salam dikisahkan juga memiliki dua orang isteri
kakak adik puteri dari saudara ibunya, yang
bernama Lia (Liya) dan Rahil (Rachel) [catatan :
mengumpulkan dua orang saudara (adik kakak) dalam
satu pernikahan dahulu diperbolehkan lalu dilarang pada zaman
Rasulullah oleh al-Qur’an]. Demikian pula dengan
Nabi Dawud (David) dan puteranya Nabi Sulaiman (Solomon) ’alaihima
Salam yang memiliki banyak isteri dan budak wanita.
Lantas, apakah mereka semua ini
dikatakan telah melakukan selingkuh, manusia yang ’gila wanita’,
hipersex, atau tuduhan-tuduhan keji lainnya? Na’udzu
billahi min dzaalik. Semua umat beragama pasti faham
dan yakin, bahwa para Nabi itu ma’shum (infallible/terjaga
dari dosa) dan menuduh keburukan pada salah
satu Nabi berimplikasi pada kekafiran... Tidakkah
mereka juga mengetahui bahwa Nabi Dawud itu
adalah seorang Nabi yang paling banyak beribadah
kepada Allah, bahkan beliau adalah orang
yang paling sering melaksanakan puasa. Beliau
berpuasa sehari dan berbuka sehari dan sunnah ini
pun akhirnya dikenal di dalam Islam dengan
nama Puasa Dawud. Apakah mungkin orang yang sibuk dengan
ibadah dan banyak puasanya dikatakan sebagai
manusia ’haus seks’ –wal’iyadzubillah-? Bahkan
bisa jadi orang-orang yang menghujat itulah yang sebenarnya haus seks
sehingga ia menuduh untuk menyembunyikan sifat buruknya
ini.
Gereja Dan Masyarakat
Kristiani Zaman Dulu Mengenal Poligami
DR. Muhammad
Fu’ad al-Hasyimi, mantan pemeluk kristiani yang akhirnya masuk
Islam, di dalam bukunya ”Religions on The
Scales” (hal. 109) berkata:
“Gereja telah mengenal praktek
poligami sampai abad ke-17. Tidak ada satupun
dari injil yang empat diketahui adanya
larangan yang secara jelas melarang poligami. Perubahan terjadi ketika
orang-orang Eropa yang bertaklid kepada tradisi non
poligami kaum paganis (hanya beberapa kalangan saja
yang diketahui melarang poligami, karena mayoritas masyarakat
Eropa – sebagaimana disebutkan sebelumnya- mempraktekan
poligami secara luas, pen). Ketika kaum minoritas
anti poligami itu masuk agama kristen, tradisi mereka
menggeser tradisi poligami dan mereka memaksakan
(tradisi ini) bagi penganut kristen lainnya.
Seiring berlalunya waktu, kaum kristiani mengira
bahwa larangan poligami itu merupakan esensi
ajaran kristen, padahal hal ini berangkat dari sikap taklid kepada
para pendahulu mereka, yang sebagian orang
(non poligamis) memaksakannya kepada lainnya (tradisinya)
dan akhirnya terus berlangsung selama bertahun-tahun...”
[M.F. Al-Hasyimi, Religions on The Scales hal. 109] Bahkan, kami bernani
menantang kaum Kristiani untuk menunjukkan satu buah
ayat saja dari “Kitab Suci” (?!) mereka
yang menunjukkan bahwa poligami itu terlarang.
Jika mereka mau bersikap obyektif, bukankah
kitab “Perjanjian Lama” yang diklaim sebagai
Taurat (Torah), membatalkan klaim mereka yang
menolak poligami?! Karena kitab “Perjanjian Lama”
ini secara eksplisit menunjukkan akan adanya praktek
poligami di kalangan para Nabi dan Rasul, mulai dari Prophet Abraham “the
Friend of Allah” (Nabi Ibrahim Khalilullah), Isaac
(Ishaq), Jacob (Ya’qub), David (Dawud) dan Solomon (Sulaiman)
‘alaihimus Salam yang kesemuanya diklaim sebagai
Rasul bagi kalangan Bani Israil. [ibid, dengan
sedikit perubahan redaksi]
Islam Datang Membatasi
Praktek Poligami Hanya Empat Isteri
Ketika Islam
datang dibawa oleh Rasulullah al-Amin,
untuk menyampaikan Rahmat bagi alam semesta,
maka Islam tidak melarang poligami dengan
begitu saja dan tidak pula membiarkan
poligami secara bebas. Islam datang dan membatasi
poligami maksimal hanya 4 isteri saja. Zaman pra Islam telah mengenal poligami,
bahkan poligami bukanlah suatu hal yang asing dimana
ada seorang lelaki beristiri puluhan bahkan
ratusan wanita.
Datangnya Islam, membawa Rahmat
bagi semesta alam (Rahmatan lil ’Alamin). Selain
membatasi poligami, Islam juga menjelaskan
persyaratan-persyaratan dan kriteria dianjurkannya berpoligami
yang sebelumnya tidak ada. Masalah ini akan dibicarakan setelahnya –insya
Allah-.
Diriwayatkan oleh
Imam Bukhari rahimahullahu dengan sanadnya bahwa
Ghaylan ats-Tsaqofi masuk Islam sedangkan dirinya memiliki 10 orang
isteri. Maka Nabi Shallallahu ’alaihi wa
Salam bersabda kepada beliau : ”Pilihlah empat orang saja dari
isteri-isterimu.” Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud
rahimahullahu dengan sanadnya bahwasanya ’Umairoh al-Asadi
berkata : ”Aku masuk Islam dan aku memiliki 8 orang isteri, lalu aku sampaikan
hal ini kepada Nabi dan beliau pun bersabda : ”pilihlah empat diantara
mereka”.”
Demikianlah, mereka
melakukannya sebagai pengejawantahan Firman Allah Azza wa Jalla :
”Apabila kamu
takut tidak dapat berbuat adil terhadap anak yatim
(yang hendak kamu nikahi), maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat...” (QS an-Nisaa` :
3)
Sembilan Isteri Hanya
Khusus Bagi Nabi
Ayat 3 Surat
an-Nisaa` di atas merupakan dalil yang terang dan tegas akan batasan
jumlah isteri. Demikian pula dengan beberapa riwayat hadits di atas,
dimana Rasulullah memerintahkan para sahabatnya
yang baru masuk Islam sedangkan mereka
memiliki isteri lebih dari empat supaya
menceraikan selebihnya.
Adapun 9 isteri
yang dimiliki oleh Rasulullah Shallallahu ’alaihi
wa Salam, maka ini adalah kekhususan yang
dimiliki oleh beliau dan tidak dimiliki
oleh selain beliau, sedangkan beliau berbeda
dengan manusia lainnya, karena beliau adalah orang yang
ma’shum dan terpelihara dari kesalahan. Kekhususan beliau
ini banyak, diantaranya adalah beliau Shallallahu
’alaihi wa Salam dan keluarga beliau tidak boleh menerima zakat...
Adapun yang
diklaim oleh Syiah Rafidhah dan aliran sekte
sesat lainnya yang menyatakan bahwa, penafsiran ayat di atas
(QS 4:3) adalah : nikahilah dua atau tiga atau
empat maksudnya dua + tiga + empat = sembilan, maka ini adalah
penafsiran yang menyimpang dan menyeleweng dari Islam.
Islam membatasi hanya 4 isteri dan ini adalah kesepakatan ulama Islam semenjak
dahulu maupun sekarang.
Hanya Islam Yang
Menyatakan ”(maka nikahilah) satu saja” dan Mensyaratkan Untuk Berlaku Adil
Terhadap Isteri-Isteri
Allah Ta’ala berfirman :
”Dan jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi :
dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang
kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS an-Nisaa’ : 3)
Dari Surat
an-Nisaa` di atas, Al-Qur’an memerintahkan untuk
berbuat adil dan apabila tidak mampu berbuat adil (dalam hal
nafkah, baik nafkah lahiriyah dan batiniyah),
maka Allah memerintahkan untuk menikahi seorang
wanita saja, agar tidak terjatuh kepada perbuatan aniaya dan
kezhaliman. Syariat yang mulia ini menunjukkan
bahwa poligami bukanlah syariat yang merupakan kewajiban yang
harus dilakukan begitu saja. Namun poligami
memiliki syarat-syarat dan kriteria yang
harus dipenuhi –yang akan disebutkan pada
risalah berikutnya insya Allah-.
Berbeda dengan syariat kaum
terdahulu, mereka dapat melakukan poligami bebas
berapa saja mereka mau. Mereka pun dapat menikahi wanita-wanita walaupun
mereka tidak bisa bersikap adil baik di dalam nafkah
maupun lainnya. Mereka menganggap bahwa kaum wanita bagaikan hewan
yang rendah, yang status mereka di bawah kaum lelaki dan dianggap sebagai
makhluk inferior.
Poligami Itu Bukan Suatu
Keharusan
Kaum kuffar dan
orang Islam yang terpengaruh dengan pemahaman
mereka, ketika membicarakan masalah poligami, mereka
menganggap seakan-akan Islam mewajibkan bagi muslim pria untuk
mempoligami wanita (baca : poligini), dan mereka menjadikan
hal ini sebagai citra buruk bagi Islam. Padahal
apabila mereka mau mengkaji dengan kaca
mata obyektif dan mempergunakan akal sehatnya,
niscaya mereka akan mendapatkan bahwa Islam
adalah agama yang Rahmatan lil ’Alamien.
Menurut sebagian
fuqaha’ (ahli fikih), Hukum poligami itu
sama dengan hukum pernikahan, yang kembalinya kepada 5
kategori hukum :
1. Fardh/Wajib,
apabila poligami tidak dilaksanakan, suami akan
jatuh kepada keharaman, seperti perbuatan zina, selingkuh dan perbuatan
asusila lainnya.
2. Mustahab/sunnah,
apabila suami mampu dan memiliki harta yang
cukup untuk melakukan poligami, dan dia melihat ada beberapa wanita
muslimah (janda misalnya) yang sangat perlu dinikahi untuk diberikan
pertolongan padanya.
3. Mubah/boleh,
apabila suami berkeinginan untuk melakukan
poligami dan ia cukup mampu untuk melakukannya.
4. Makruh,
apabila suami berkeinginan untuk melakukan
poligami sedangkan ia belum memiliki kemampuan
yang cukup sehingga akan kesulitan di dalam berlaku adil.
5. Haram, apabila poligami
dilakukan atas dasar niat yang buruk, seperti untuk menyakiti isteri
pertama dan tidak menafkahinya, atau ingin
mengambil harta wanita yang akan dipoligaminya,
atau tujuan-tujuan buruk lainnya.
Dari 5 kategori ini, poligami
dapat jatuh kepada 5 hal di atas. Ia dapat
menjadi wajib, mustahab (dianjurkan), mubah
(boleh-boleh saja), makruh ataupun haram.
Oleh karena itu, menggeneralisir
bahwa poligami itu wajib adalah suatu pendapat yang tidak benar. Demikian
pula dengan menuduh bahwa poligami selalu diawali
dengan perselingkuhan adalah pendapat yang bodoh,
yang berangkat dari ketidakfahaman akan syariat Islam yang mulia
ini. Padahal, seringkali poligami itu menjadi solusi dan benteng dari
terjadinya perzinaan, perselingkuhan ataupun keburukan lainnya; dan bisa jadi
poligami itu menjadi penolong bagi para wanita dan janda-janda yang
memerlukan pelindung atasnya dan anak-anaknya.
Poligami Itu Solusi Dan
Benteng Keburukan
Islam adalah
agama yang komperehensif yang memberikan segala
solusi permasalahan hidup bagi manusia, yang mengatur kehidupan
manusia di dunia dan mengarahkannya kepada kebaikan di akhirat.
Islam menganjurkan ummatnya untuk menikah dan
tidak hidup melajang sebagaimana bid’ah (innovation)
yang dilakukan oleh para rahib-rahib dan
pendeta katolik, yang mengharamkan atas mereka
menikah. Padahal menikah dan membagi kasih sayang adalah fitrah dan
tabiat dasar manusia, yang mana telah Allah gariskan bagi makhluk-Nya.
Perzinaan (Adultery) adalah suatu keharaman, bukan
hanya menurut Islam, namun juga menurut agama-agama lain dan
akal budi yang sehat.
Melajang tidak menikah, pun juga
suatu hal yang haram, karena menyelisihi dan
mengingkari fithrah serta tabiatnya sebagai manusia.
Homoseksual baik itu gay (antar lelaki) atau lesbi (antar wanita)
yang sekarang sedang diisukan oleh kaum
liberalis humanis dengan atas nama HAM (Human
Rights) adalah suatu perilaku yang jelas-jelas menyimpang,
menjijikkan dan menafikan akal sehat.
Anehnya, kaum liberalis feminis,
mereka membela kejahatan-kejahatan yang menjijikkan ini
namun menolak syariat mulia poligami. Mereka mencerca bahwa
poligami itu merendahkan wanita dan menjadikan wanita
sebagai makhluk inferior, padahal mereka sendiri
lebih merendahkan wanita, dengan mengajak kaum
wanita untuk menafikan akal sehatnya, menolak
fithrah dan tabiatnya, melepaskan keimanannya dan menarik mereka masuk ke
dalam lubang kehinaan.
Mereka lebih senang
mengeksploitasi kaum wanita sebagai perhiasan umum dan properti publik, yang
dapat dikonsumsi bebas oleh massa. Lihatlah
iklan-iklan di televisi, bagaimana wanita dieksploitasi
besar-besaran hanya untuk menarik market dan meraih
profit besar-besaran suatu produk, tampak wanita
bagaikan barang dagangan. Ironinya, wanita-wanita itu tidak malu,
mereka lebih senang menjadi properti umum
daripada dipoligami oleh seorang pria.
Ada lagi yang
senang menjadi wanita simpanan alias gundik
atau mistress. Mereka tidak mau dinikahi sehingga
mereka telah memangkas hak-hak mereka sebagai wanita
dan isteri, sehingga ketika sang lelaki idaman meninggal, ia tidak
akan mendapatkan hak warisan dan perlindungan
secara legal dari pengadilan. Di lain
pihak, ada sebagian isteri yang lebih tidak
ridha memiliki suami yang berpoligami, namun
menganggap bahwa selingkuh lebih baik daripada
harus berpoligami. Mereka lebih senang apabila
para suami itu jatuh kepada perzinaan, dosa
dan keharaman daripada harus berbagi suami dengan wanita lain.
Sekelumit Di Balik
Hikmah Poligami
Allah, sang pencipta alam
semesta, adalah yang paling mengetahui apa yang terbaik bagi makluk-Nya.
Sehingga syariat dan hukum yang Ia buat dan
tetapkan, pasti adalah yang terbaik bagi
hamba-hamba-Nya. Allah mensyariatkan dan memperbolehkan
poligami, maka tentu saja banyak hikmah dan kebaikan yang
terkandung di dalamnya, walaupun manusia tidak mengetahuinya
atau bahkan menentangnya.
Kita ambil sebuah
permisalan, misalnya kita membeli satu set televisi lengkap dengan
panduan troubleshooting-nya, kemudian setelah beberapa waktu
televisi tersebut tidak dapat menyala. Kita hendak memeriksa
kerusakan televisi tersebut sebelum dibawa kepada reparasinya.
Apakah kita akan menggunakan panduan troubleshooting
resmi dari TV tersebut ataukah kita gunakan
panduan troubleshooting lainnya, misalnya panduan
troubleshooting radio, kulkas atau merk TV lainnya?
Bagi orang
yang berakal, ia tentu akan menggunakan buku panduan
troubleshooting dari pabrik TV tersebut, karena mereka
yakin bahwa dikarenakan pabrik tersebut yang
memproduksi TV itu, maka jelas pabrik tersebut yang lebih tahu tentang
seluk beluk TV itu sehingga buku panduannya
lebih utama untuk dirujuk. Adapun yang
merujuk buku panduan selain dari pabrik
tersebut, maka sesungguhnya ia adalah orang yang
bodoh lagi dungu...
Demikian pula kurang lebih
dengan syariat Allah – dan bagi Allah permisalan yang
lebih tinggi-. Apabila kita dengan sesama manusia yang sama-sama lemah
saja mau menerapkan aturan-aturan yang mereka buat, lantas mengapa kita tidak
mau menerima aturan Allah yang lebih
tinggi, lebih sempurna, lebih komprehensif, lebih
lengkap, lebih mulia dan lebih mengetahui
mana yang paling baik bagi manusia.
Dimanakah kita
letakkan akal kita, ketika kita menggunggat
syariat Allah sedangkan kita seringkali pasrah
menerima aturan dan hukum manusia? Bahkan lebih
dahsyat lagi, menerima pemikiran kaum kuffar
liberalis dan menolak hukum dan aturan Allah?! Dimana akal sehat
kita, ketika kita menolak dan menghujat syariat
poligami yang merupakan sunnah Rasulullah dan para Nabi,
namun di sisi lain kita cenderung menerima budaya
kuffar dengan kehidupan bebas liberal yang merendahkan
harkat martabat manusia terutama kaum wanita?!!
Wahai para
penghujat dan antipoligami... gunakanlah akal
sehat anda dan perhatikanlah sekelumit hikmah di balik syariat
poligami ini :
1) Rata-Rata
Jangka Hidup Kaum Wanita Lebih Tinggi Dibandingkan Pria
Islamic Research
Foundation (Yayasan Riset Islami) yang diketuai oleh DR. Zakir
Naik, seorang ilmuwan Islam jenius, menyebutkan bahwa rata-rata jangka
hidup kaum wanita lebih tinggi dibandingkan pria.
Secara alami, pria dan wanita kurang lebih memiliki rasio kelahiran yang sama,
namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak
perempuan lebih memiliki imunitas (kekebalan tubuh) yang lebih
dibandingkan anak laki-laki. Anak wanita, dilaporkan,
lebih mampu melawan germs (sel bakteri atau patogen lainnya) dan
penyakit dibandingkan anak laki-laki, sehingga selama fase
pediatric (anak-anak) angka kematian pada anak
laki-laki lebih besar dibandingkan kematian pada anak perempuan.
Tinjauan berikutnya,
selama perang, pria lebih banyak terbunuh
dibandingkan wanita, karena yang lebih banyak turun ke medan perang
adalah pria dibandingkan wanita, sehingga jumlah janda meningkat
dan angka populasi wanita menjadi lebih
besar dibandingkan dengan pria. Pria juga lebih
banyak mengalami kecelakaan dan mati dibandingkan
wanita, baik kecelakaan di jalan raya
maupun kecelakaan kerja. Pekerjaan pria lebih
banyak beresiko, dimana pria banyak bekerja di
kontraktor gedung, menghandle mesin-mesin pabrik dan
selainnya yang resiko kematiannya lebih besar
dibandingkan pekerjaan wanita.
Secara umum,
jangka hidup wanita lebih tinggi dibandingkan
pria, sehingga beberapa sensus menunjukkan bahwa jumlah
populasi wanita lebih besar dibandingkan jumlah populasi pria.
2) Populasi
Wanita Di Dunia Lebih Banyak Dibandingkan Pria
Masih dalam
laporan yang sama oleh IRF, dilaporkan di Amerika
Serikat (berikutnya disebut AS), wanita lebih banyak
sekitar 7,8 juta orang dibandingkan pria. New
York sendiri, memiliki wanita lebih dari 1 juta orang dibandingkan
pria. Inggris Raya memiliki 4 juta wanita lebih banyak dibandingkan pria,
sedangkan Jerman memiliki 5 juta lebih banyak dan
Rusia 9 juta lebih. Dan hanya Allah-lah
yang lebih mengetahui berapa puluh atau
ratus juta wanita di dunia ini lebih banyak
daripada pria.
Sebuah Pertanyaan : Lalu Kenapa
Jika Wanita Lebih Banyak Daripada Pria?
Ini mungkin pertanyaan
yang akan muncul, yaitu : kenapa jika wanita lebih banyak dari pria?
Apakah ini menjadi alasan legal
dibolehkannya poligami?
Jawaban : Ini sebagian alasan
bahwa poligami itu adalah suatu hal yang
practicable (dapat diterapkan). Sekarang mari kita telaah…
Apabila jumlah wanita lebih
banyak daripada pria, sedangkan Allah menciptakan makhluk-Nya dalam
keadaan berpasang-pasangan dan Allah mensyariatkan
atas mereka untuk menikah dan hidup bersama
di bawah ikatan yang legal dan terhormat. Maka
tentu saja poligami itu aplicable.
Kita ambil contoh misalnya
negara AS, di negara ini wanita lebih banyak sekitar 7,8 juta sedangkan
di New York sendiri kaum wanita lebih
banyak lebih dari 1 juta orang. Data IRF juga menyatakan bahwa
sepertiga pria di New York adalah kaum Sodomi dan Gay,
yang tidak berkeinginan untuk menikah dengan wanita. AS
sendiri secara keseluruhan memiliki kurang lebih 25 juta kaum gay.
Bahkan seandainya
setiap pria di AS menikahi seorang wanita, maka tetap
masih ada lebih dari 20 juta wanita di AS
yang tidak bakal mendapatkan suami. Lantas siapakah yang akan
menikahi mereka? Apakah mereka lebih memilih hidup melajang atau
lesbi seks yang menjijikkan? Ataukah menjadi properti
publik (barang dagangan umum)? Ini tentunya
lebih hina daripada menjadi isteri sah
seorang pria yang telah menikah.
Anggaplah misalnya
saudara perempuan anda adalah salah satu
wanita yang tidak menikah tinggal di AS karena
tidak mendapatkan pria lajang yang bisa
menikahinya. Hanya ada dua pilihan baginya
dan tidak ada ketiga, yaitu ia menikahi seorang
pria yang telah beristri atau ia menjadi properti publik
dengan hidup melajang. Tentu saja bagi orang yang memiliki akal
sehat, menjadi isteri pria yang telah
menikah adalah pilihan yang lebih baik, karena selain ia memiliki hak-hak
legal sebagai isteri, ia juga mendapatkan hak perlindungan dan nafaqoh
(nafkah).
Para Pemikir Barat
Merekomendasikan Poligami
Tidak dinyana,
di tengah-tengah gencarnya aksi protes dan
hujatan terhadap poligami, para pemikir western setelah
melakukan penelitian dan berangkat dari pengalaman
hidupnya, turut merekomendasikan poligami. Phillip Killbride,
seorang Profesor Antropologi pada Bryn Mawr College Pennsylvania
menulis sebuah buku yang berisi studi
tentang poligami yang berjudul ”Plural Marriage
for Our Times – Reinvented Options”
(Westport, Connecticut: Bergin and Garvey: 1994). Ia melakukan sebuah
studi mendalam tentang poligami dan dipaparkannya dalam
seribuan halaman bukunya ini dimana Professor Killbride
menunjukkan beserta bukti dan contoh-contohnya bahwa
poligami di zaman ini memiliki benefit
(keuntungan) yang positif.
Audrey Chapman,
seorang family therapist and relationship expert
(ahli terapi masalah keluarga dan hubungan),
menulis buku “Man Sharing :
Dilemma or Choice”
(New York: William Morrow and Co.: 1986) yang menunjukkan
perbandingan baik buruknya poligami, yang
akhirnya dia menunjukkan bahwa poligami adalah opsi terbaik di
dalam menanggulangi masalah-masalah percintaan, keluarga dan
moralitas.
Seorang aktivis
pembela hak-hak wanita dan mantan pengacara, Adriana
Blake, menulis buku ”Women Can Win The
Marriage Lottery : Share Your Man With Another Wife – The
Case For Plural Marriage” (Orange County University Press, 1996),
merekomenasikan bahwa poligami adalah opsi
terbaik di dalam meninggalkan kelajangan dan
memperoleh hak-hak hidup yang legal dan terhormat
di saat penipuan, kejahatan seksual dan degradasi moral terjadi. Annie
Besant, seorang pemikir dan ahli teologi
terkenal, yang namanya tidak asing bagi kalangan feminis dan liberalis atau pemerhati
buku, dimana tidak sedikit karya tulisnya
berjejer di rak-rak buku Islami, ia mengatakan
“Anda dapat
menemukan orang-orang lain menyatakan bahwa agama
(Islam) ini buruk, karena memperbolehkan poligami yang terbatas.
Tapi Anda tidak mendengar lazimnya kecaman yang
saya lontarkan pada suatu hari di “London Hall” (Balai Pertemuan London) dimana
saya telah mengetahui bahwa para hadirin ketika
itu sama sekali tidak terkendali. Aku
tunjukkan pada mereka bahwa monogami yang
disertai dengan campuran unsur prostitusi di
dalamnya adalah suatu kemunafikan dan lebih
hina dibandingkan dengan poligami terbatas.
Secara alami, pernyataan seperti itu akan
mendapatkan penentangan, namun hal ini mau tidak mau harus dinyatakan, karena
haruslah diingat bahwa hukum Islam yang berkaitan
dengan wanita hingga sampai saat ini,
ketika beberapa bagian dari hukum itu
ditiru di Inggris, adalah hukum yang paling adil, sejauh mana
(hak-hak) wanita (juga) dipedulikan, (yang) dapat
ditemukan di dunia, baik yang berkaitan dengan properti (barang/hak
milik), berkaitan dengan hak warisan atau
selainnya, atau berkaitan dengan perceraian, dan ini semua
berada jauh sebelum hukum Barat memberikan
respek dan mengatur hak-hak wanita. Semuanya
ini dilupakan ketika mereka terhipnotis dengan
kata-kata monogami dan poligami dan tidak
melihat apa yang berada di belakangnya di dunia Barat –
(ketika) perendahan wanita secara mengerikan yang dibuang
di jalanan, dimana pelindung pertama mereka bosan terhadap mereka dan tidak
dapat lagi memberikan pertolongan bagi mereka… Saya
sering berfikir bahwa wanita lebih bebas di dalam Islam daripada di
kristiani. Wanita lebih dilindungi oleh Islam
daripada keyakinan yang memuji monogami. Di dalam
al-Qur’an, hukum tentang wanita itu lebih adil dan liberal. Hanya baru pada
abad dua puluh ini negeri Inggris yang kristiani,
mengenal hak-hak wanita tentang properti
(kepemilikan) sedangkan Islam memperbolehkan hak
(kepemilikan) ini pada semua waktu...” [Annie
Besant, The Life and Teachings of Muhammad
(Madras:1932), hal. 25-26].
Apa yang
dilontarkan oleh Annie Bessant ini adalah pernyataan
yang jujur dan obyektif. Demikian pula apa yang dinyatakan oleh Elizabeth
Joseph, seorang pengacara dan jurnalis dari Big Water
- Utah, yang memberikan ceramah di National
Organization for Women Conference (Konferensi Organisasi
Nasional Bagi Wanita) yang berjudul : “Creating Dialogue : Women Talking to
Women” pada bulan Mei tahun 1997. ia
memberikan pendapat positif tentang poligami. Ia mengatakan bahwa
salah satu pahlawan wanitanya, yaitu Dr. Martha Hughes Cannon yang
menjadi wanita pertama anggota dewan legislatif pada tahun
1896, bahwa Dr. Martha ini bukan hanya
seorang dokter namun ia juga seorang isteri yang
dipoligami.
Elizabeth juga berkata :
“Sebagai seorang jurnalis, aku
seringkali bekerja dalam waktu yang tidak dapat
diprediksikan di dunia yang serba cepat
ini. Beritalah yang menentukan jadwalku. Tapi,
apakah aku pernah menelpon rumah, meminta
suamiku untuk menjemput anak-anak dan memasak
sesuatu di microwave dan menidurkan mereka pada
waktunya, khawatir kalau-kalau aku nanti benar-benar terlambat?
Karena rencana perkawinan poligami-ku-lah aku
tidak perlu khawatir… sangatlah membantu untuk
berfikir tentang poligami dalam bentuk pendekatan pasar bebas di
dalam menikah. Kenapa anda atau saudara perempuan
anda tidak mencoba menikahi pria terbaik
yang pernah ada, tanpa mempedulikan status
perkawinannya?”
Poligami Tidak Dilakukan
Tanpa Terkontrol
Wahai hamba Alloh, ketahuilah
bahwa poligami itu tidak sekedar hanya untuk memelihara diri supaya jatuh
kepada keharaman, namun poligami itu lebih mulia dari
itu. Poligami merupakan diantara sarana untuk menolong
kaum wanita yang kesusahan, semisal para janda yang miskin yang
tidak memiliki penanggung jawab dan pelindung
atasnya dan anak-anaknya. Poligami juga untuk
memelihara kaum wanita dari keburukan dan
kejelekan. Poligami bukan untuk ajang berbangga-bangga atapun hanya untuk
hasrat sesaat belaka.
Wahai hamba Allah, ketahuilah
bahwa poligami itu adalah syariat Allah yang
mulia, yang Allah turunkan untuk kemaslahatan
umat manusia. Poligami tidak asal dilakukan
begitu saja tanpa mempertimbangan kemaslahatan dan
kemadharatan, apalagi sampai membawa kepada penzhaliman kepada
wanita dan penelantaran hak-hak mereka. Ketahuilah, bahwa ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang hendak
berpoligami, yang apabila tidak dipenuhi maka
akan terjadi penzhaliman kepada kaum wanita dan
penzhaliman kepada syariat poligami itu sendiri. Berikut ini
adalah kriteria dan persyaratan seorang lelaki boleh berpoligami
:
1. Tidak Lebih Dari Empat Isteri
Dalam Satu Waktu
Di dalam pembahasan sebelumnya,
sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an surat an-Nisa`
ayat 3 dan beberapa hadits yang telah lewat
menunjukkan bahwa seorang lelaki tidak boleh
beristeri lebih dari empat dalam satu
waktu. Kecuali apabila salah satu isterinya meninggal lalu ia menikah lagi.
Allah adalah Sang Kholiq (Maha Pencipta)
yang mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya. Allah
juga paling mengetahui mengapa Ia memperbolehkan pria
beristeri lebih dari satu dan membatasinya hanya empat isteri saja, tidak lebih
dari itu. Syariat Allah yang membatasi
poligami tidak boleh lebih dari empat terkait
dengan Pengetahuan Allah Yang Maha Tinggi tentang
kemampuan makhluk-Nya dan kemampuan mereka untuk dapat
berbuat adil. Seorang muslim laki-laki tidak boleh beristeri lebih dari
empat. Apabila seorang laki-laki takut dan
khawatir ia tidak dapat berlaku adil
apabila ia memiliki isteri lebih dari satu, maka yang satu itu lebih baik
baginya. Sama juga, bagi seorang pria yang telah beisteri dua orang dan ia
tidak mampu lagi berbuat adil apabila ia
menikahi seorang wanita lagi, maka yang dua itu adalah lebih baik
baginya. Juga demikian bagi seorang pria
yang memiliki tiga orang isteri. Apabila ia khawatir tidak mampu berbuat adil
untuk menikahi empat isteri maka hendaklah ia
mencukupkan dengan yang tiga. Adapun seorang
pria yang telah memiliki empat isteri, maka ia tidak boleh
menikahi wanita lagi walaupun ia yakin ia
mampu berbuat adil terhadap mereka semua.
Karena syariat yang mulia telah membatasi jumlah maksimal poligami
adalah empat.
2. Memiliki Kemampuan Untuk
Berpoligami
Seorang muslim yang tidak
memiliki kemampuan untuk berpoligami maka ia terlarang berpoligami,
karena implikasinya akan membawa kepada
penzhaliman terhadap kaum wanita dan
anak-anak, sedangkan Allah mengharamkan segala
bentuk kezhaliman. Dan yang dimaksud dengan
kemampuan di sini adalah kemampuan berupa harta,
kesehatan fisik dan mental/psikologi. Seorang pria yang tidak
memiliki kemampuan harta untuk memberikan nafkah kepada dua orang isteri,
maka tentu saja mencukupkan diri dengan satu isteri itu
lebih utama dan baik. Seseorang yang nekad
berpoligami sedangkan ia tidak memiliki kemampuan
harta untuk menafkahi isteri-isteri dan
ana-anaknya, tentu saja akan terjatuh kepada
penzhaliman kepada isteri-isteri dan anak-anaknya.
Kemampuan finansial ini merupakan kriteria mutlak
diperbolehkannya seseorang untuk berpoligami. Seorang muslim laki-laki haruslah
sehat fisiknya, sehingga ia mampu bekerja untuk
memenuhi nafkah isterinya. Seorang laki-laki dengan
kesehatan fisiknya niscaya mampu menafkahi
isterinya lahir dan batin. Kesehatan fisik
juga berkaitan dengan kemampuan seksual. Seorang
pria yang mengalami gangguan di dalam kemampuan
seksualnya, misalnya impoten, maka dilarang untuk
berpoligami. Karena, diantara hikmah pernikahan
dan poligami adalah memelihara kehormatan dan
kemaluan, apabila seorang pria tidak mampu menafkahi
kebutuhan batin isterinya maka akan menyebabkan
terbelenggunya dan terlantarnya fithrah dan tabiat wanita yang
pada akhirnya jatuh kepada penzhaliman atasnya.
Kesehatan psikologi lebih mengacu kepada
kemampuan di dalam memimpin dan mengatur
keluarganya dengan keadilan. Seorang pria yang mengalami gangguan psikologi,
seperti emosional, akan menyebabkan hilangnya keadilan
di dalam rumah tangga. Kesehatan psikologi juga mengacu kepada
keistiqomahannya di dalam menjalankan agamanya. Seorang pria yang
tidak istiqomah di dalam melaksanakan ajaran agamanya,
maka akan sangat rentan melakukan tindakan
ketidakadilan dan penzhaliman terhadap keluarga (isteri-isteri dan
anak-anaknya). Oleh karena itu, poligami yang tidak dibangun di atas syariat
dan sunnah Nabi akan cenderung jatuh kepada
keburukan dan kezhaliman di dalam rumah
tangga.
3. Dapat
Berlaku Adil Terhadap Isteri-Isterinya
Allah Ta’ala berfirman :
“Apabila kamu takut tidak dapat
berlaku adil maka (nikahilah) satu saja.”
Sedangkan di
tempat lain Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Dan kamu
sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil
di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat
ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah
kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu
cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan
dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS an-Nisa` :
129)
Ayat 129 dalam
surat an-Nisa` di atas sering dijadikan
argumentasi oleh kaum anti poligami bahwa
poligami itu sebenarnya tidak boleh. Karena Alloh
mensyaratkan poligami itu harus adil sedangkan Allah sendiri
menyatakan bahwa manusia itu tidak mampu berlaku
adil walaupun sangat ingin berbuat demikian.
Benarkah demikian? Benarkah dua ayat di
atas saling kontradiktif? Mari kita lihat penjelasan pakar tafsir
al-Qur’an terhebat sepanjang masa, yaitu Imam al-Qurthubi.
Beliau rahimahullahu berkata : “Allah Ta’ala memberitakan
ketidakmampuan berlaku adil di antara isteri-isteri adalah di dalam
kecondongan tabiat di dalam rasa cinta,
jima’ (hubungan seksual) dan kecondongan hati. Allah Ta’ala
mensifati manusia bahwasanya mereka secara alami
tidak memiliki kecondongan hati kepada satu
wanita dan wanita lainnya [maksudnya hanya
bisa condong kepada satu wanita saja, pent.].
Oleh karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa Salam membagi diantara isteri-isterinya dalam masalah
nafkah secara adil, kemudian beliau bersabda : “Ya Allah, ini adalah
pembagianku yang aku miliki, maka janganlah Kau
mencelaku atas apa Yang Kau Miliki namun tak aku tak mampu
memilikinya.”... kemudian Allah Ta’ala melarang
dari berlebih-lebihan di dalam kecondongan, Ia
berfirman : “Janganlah kamu terlalu condong”,
yaitu janganlah kamu berlaku buruk kepada
mereka –sebagaimana diutarakan oleh Mujahid-
namun tetapkan persamaan di dalam pembagian
dan nafkah dan ini adalah termasuk sesuatu yang dimampui.”
[al-Jami’ li ahkamil Qur’an]. Yaitu, keadilan di dalam masalah pembagian dan
nafkah. Adapun keadilan di dalam rasa cinta dan kecondongan hati,
maka ini suatu hal yang manusia tidak
mampu berlaku adil seluruhnya. Namun, ketidakmampuan ini
bukan artinya tidak ada rasa adil seluruhnya.
Seluruh isteri tetap harus disayangi dan
dicintai, diberikan perlindungan dan pengawasan yang sama, nafkah
dan giliran jima’ yang sama. Oleh karena itulah Allah
melarang dari kecondongan secara berlebih-lebihan sehingga menyebabkan
isteri-isteri lainnya terkatung-katung. Inilah yang
dicela. Adapun berupaya tetap berbuat adil dan membagi
kasih sayang semampunya, memberikan nafkah dan
pembagian yang sama rata, maka inilah yang
dimaksud dengan keadilan itu. Allahu a’lam bish showab.
Jadi, seseorang
yang terlalu mencintai isteri keduanya sehingga
menelantarkan isteri pertamanya, tidak memberinya nafkah yang layak dan
sama dengan isteri kedua, tidak mendapatkan pembagian giliran yang sama dengan
isteri kedua, tidak mendapatkan perhatian yang
sama dan seterusnya. Maka ini adalah suatu kezhaliman dan
ketidakadilan terhadap isteri pertama tersebut, dan ini
termasuk hal yang dilarang dan dicela oleh Allah, serta bukan suatu hal yang
dituju di dalam Poligami.
4. Pembagian Terhadap Para
Isteri Masalah ini berkaitan dengan poin
sebelumnya dan penjabarannya. Pembagian yang dimaksud
menurut ulama Islam adalah pembagian di dalam pembagian pangan, sandang,
papan dan waktu. Kesemuanya ini harus dilakukan
dengan adil. Ketidakadilan di dalam pembagian ini merupakan salah
satu tindakan kezhaliman terhadap isteri dan
wanita yang menjadi amanat dan tanggung
jawabnya. Semua bentuk pembagian ini juga harus
diberikan kepada anak-anak dari tiap isterinya.
Seorang yang berpoligami,
apabila ia membelikan rumah untuk salah seorang
isterinya, maka ia dituntut untuk memberikan hal yang sama pada
isteri-isteri lainnya, kecuali apabila isteri-isteri lainnya
ridha. Demikian pula, apabila seorang suami
membelikan pakaian baru untuk salah seorang
isterinya, maka ia juga dituntut untuk
memberikan hal yang serupa pada isteri-isteri
lainnya. Jangan hanya karena kecondongan cintanya
kepada salah seorang isteri ia menelantarkan
isteri-isteri lainnya dan berlaku tidak adil. Demikian
pula, apabila isteri keduanya diberi makan yang lezat
dan bergizi, maka ia tidak boleh memberi makan isteri pertamanya seadanya yang
kualitasnya di bawah makanan isteri keduanya.
Semuanya harus dibagi secara
adil. Termasuk pula pembagian waktu tidur bersama
dan jima’, semuanya harus dibagi secara
adil dan atas keridhaan bersama. Anak-anak juga demikian, anak
isteri kedua dan pertama haruslah diperlakukan sama
dalam hal kebutuhan makanan, pakaian, pendidikan dan lain
sebagainya. Jangan sampai terjadi anak isteri
kedua disekolahkan di tempat pendidikan yang
berkualitas sedangkan anak isteri kedua
disekolahkan ditempat yang kualitasnya buruk. Semuanya
harus dilakukan dengan adil walaupun berat dan sulit.
Oleh karena itu, apabila tidak mampu berbuat
adil maka satu isteri itu adalah lebih
baik, namun apabila mampu maka berpoligami juga
merupakan suatu hal yang mulia, apalagi apabila dibalik
poligami itu ada unsur pertolongan kepada kaum wanita dan
anak-anak terlantar.
Mencermati Hikmah
Poligami Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam
Tidak ada manusia terbaik di
muka bumi ini selain Rasullullah dan tidak ada manusia teradil di muka bumi ini
selain Nabi yang mulia ‘alaihi ash-Shalatu was Salam. Beliau adalah qudwah
(tauladan) bagi umat manusia yang tiada sesuatu keluar dari lisan dan perilaku
beliau melainkan adalah wahyu yang diwahyukan kepada beliau. Kaum
kuffar orientalis dan pembebeknya dari kalangan
liberalis sosialis feminis mencela beliau dengan celaan yang
jelek dan buruk. Mereka mencela Nabi yang
mulia Shallallahu ‘alaihi wa Salam sebagai
manusia biasa yang memiliki syahwat besar
dan kelainan orientasi seksual –ma’adzallah-;
semua celaan dan hujatan keji ini berangkat dari hasad,
kedengkian dan kebodohan mereka terhadap figur yang mulia ini dan sejarah
beliau. Bagi siapa yang menelaah sejarah
dan perikehidupan beliau, niscaya akan mendapatkan bahwa apa yang beliau
lakukan adalah bebas dari tuduhan-tuduhan kaum kuffar
yang dengki itu, sebagaimana bebasnya darah
serigala dari baju Yusuf ‘alaihis Salam.
Bagi mereka yang menggunakan kaca mata
obyektivitas dan keadilan, niscaya mereka akan
mendapatkan bahwa pernikahan Nabi itu adalah
pernikahan yang berangkat dari upaya untuk
ta`liful Qulub (melunakkan hati), tatyibun Nufus
(mengobati jiwa), tamhidul ardh lid da’wah
(membuka jalan dakwah), munasharah (menolong/membantu) dan yang terakhir
adalah tathbiqu haqqohu ath-thabi’i (memenuhi hak beliau
sebagai tabiat/fithrah manusia), karena beliau adalah manusia biasa dan
bukanlah seorang malaikat yang tidak berhasrat.
Kami telah
menyebutkan di awal pembahasan bahwa menikah merupakan sunnah
para Nabi dan tabiat mendasar manusia. Bahkan Isa (Jesus) dan Yahya
(John The Baptist) yang diklaim kaum Kristiani tidak
menikah, tetap tidak menunjukkan akan adanya larangan menikah dan poligami baik
di dalam empat injil (gospels) maupun di dalam bible, dan
mereka pun tidak akan mampu menunjukkannya, walau
menurut keyakinan kami kitab injil tersebut telah ditahrif (diubah-ubah). Kita
lihat, isteri pertama Rasulullah adalah Khadijah
binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha, seorang janda
Abu Hala Hind bin Nabbasy at-Tamimi, lalu ketika
Abu Hala meninggal, Sayyidah Khadijah menikah dengan
‘Atiq bin ‘Abid al-Makhzumi. Rasulullah menikahi
beliau pada usia 25 tahun sedangkan Sayyidah Khadijah berusia 40
tahun. Perhatikanlah wahai kaum yang berakal,
Rasulullah selama 25 tahun masa lajangnya, yang dikenal dengan
orang yang jujur, amanah dan menjaga diri beliau dari
keburukan, tidak pernah berhubungan dengan wanita dan wanita pertama yang
beliau nikahi adalah Khadijah. Apabila Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam adalah seorang yang gila
wanita dan syahwatnya besar –ma’adzallah, semoga Allah melaknat kaum yang
berkata demikian- niscaya beliau akan menikahi wanita-wanita
pada usia remaja dimana kaumnya saat itu telah terbiasa dengan pernikahan
poligami tidak terbatas dan menikah pada
usia muda.
Perkawinan pertama Rasulullah
dengan Sayyidah Khadijah berlangsung hingga tahun
sepuluh kenabian atau tiga tahun menjelang hijrah. Sepeninggal
Khadijah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam ditawari oleh Khaulah
binti Hakim untuk menikahi salah satu dari
dua orang wanita, satu perawan (Aisyah),
dan satu lagi janda (Saudah), dan
lihatlah!!! Rasulullah lebih memilih menikahi Saudah
bintu Zam’ah radhiyallahu ‘anhu, seorang janda dari Kasron bin ‘Amru bin ‘Abdi
asy-Syams yang merupakan sepupunya sendiri. Sayyidah
Saudah ini berbadan gemuk dan berkulit hitam –Allahumma, kami
tidak bermaksud sedikitpun mencela penampilan
fisik Sayyidah Saudah, dimana beliau adalah diantara wanita terbaik
dan ahli surga, ibu kami kaum mukminin-. Rasulullah mau menikahi Sayyidah
Saudah yang jauh lebih tua dan seorang janda yang
memiliki anak banyak. Apabila Rasulullah menikahi
wanita hanya untuk mengumbar syahwat, niscaya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak akan menikahi Sayyidah Saudah
radhiyallahu ‘anha. Sayyidah Aisyah binti Abu
Bakar adalah isteri ketiga Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam.
Pinangan Rasulullah
atas Aisyah telah menyelamatkan Abu Bakar
dari dilema antara menikahkan putrinya dengan seorang kafir atau
mengingkari janjinya kepada Muth'im bin ‘Adi
orang tua dari pemuda kafir tersebut yang telah dijanjikan untuk
menikahi putrinya. Sungguh beruntung bahwa yang terjadi justru
istri Muth'im bin ‘Adi tidak menghendaki anaknya menikahi
Aisyah karena tidak menginginkan anaknya masuk
agama baru yang dibawa Nabi, maka pinangan
Rasulullah pun diterima. Hal itu terjadi pada tahun yang
sama -sepuluh kenabian-, namun baru berkumpul pada saat di Madinah
tiga tahun kemudian-. Sejarah mencatat perbedaan
pendapat tahun berapa Sayyidah ‘Aisyah dinikahi dan digauli, mulai usia 9-15
tahun. Namun suatu hal yang perlu dicatat, pernikahan dini usia muda
ketika wanita telah mencapai baligh, bukanlah
suatu penyakit pedofili atau kelainan seksual
–ma’adzallah-, namun ini kembali ke kultur adat dan
budaya setempat. Kaum Quraisy telah terbiasa menikahkan
puteri mereka yang berusia belia, terutama kepada orang
yang mereka hormati.
Sensitifitas modern kadang
merasa risih dengan hal ini, tapi hal ini terjadi pada satu komunitas
yang memandang usia 9-15 th, adalah usia
terendah bagi seorang anak perempuan untuk
dikawini, itupun 14 abad yang lalu. Hingga akhir-akhir inipun
beberapa komunitas masih memberlakukan adat
pernikahan dini. Namun demikian pernikahan anak usia dini adalah
lebih baik ketimbang merebaknya pergaulan bebas
yang membuat anak usia tersebut sudah tidak
ada yang perawan, walaupun secara resmi mereka
menikah pada usia 28 ke atas. Toh
kenyataannya usia 28 sebagai patokan perkawinan
di beberapa negara maju hanya berdasarkan faktor
psikologis dan masalah karir serta emansipasi, namun
diluar formalitas itu kebejatan seksual merebak
dimana-mana pada tingkat yang paling vulgar. Perbandingannya jika
ada komunitas (manapun) yang mengawinkan putrinya pada
usia dini di Amerika anak usia yang sama sudah tidak perawan lagi. Perbedaan
dalam agama, yang satu formal, yang satu
lagi zina. Perzinaan sejak dini akan dibawa
hingga masa perkawinan, maka akibatnya penyelewengan
suami atau istri adalah hal biasa,
dan ajaran Yesus yang tidak mengizinkan perceraian menjadi lelucon
belaka. [Irene Handono, Menjawab Buku “The Islamic Invasion”, versi CHM download
dari www.pakdenono.com]
Isteri keempat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam adalah Hafshah binti
‘Umar bin Khaththab, janda dari Khunais bin Hudzafah as-Sahmi yang masuk
Islam dan berhijrah ke Madinah bersamaan
dengan Sayyidah Hafshah. Beliau radhiyallahu ‘anhu syahid di
perang Uhud. Ketika selesai masa ‘iddah-nya, ‘Umar
menawarkan puterinya kepada Sahabat agung Abu
Bakr namun Abu Bakr diam tidak meresponnya,
sehingga marahlah ‘Umar. Lalu beliau datang ke Sahabat agung
‘Utsman bin ‘Affan dan menawarkan puterinya
kepadanya, namun ‘Utsman tidak menyetujuinya sehingga murkalah
‘Umar. Melihat hal ini, Abu Bakr mendatangi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan
mengadu kepada beliau, lalu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam sendiri yang
melamar Hafshah dan menikahinya sebagai
penghormatan dan pemuliaan kepada ‘Umar sebagaimana
Rasulullah menikahi ‘Aisyah sebagai penghormatan kepada Abu Bakr. Setelah itu
Abu Bakr pun berkata kepada ‘Umar bahwa
beliau diam tidak mau menjawab permintaan ‘Umar
karena Abu Bakr pernah mendengar bahwa Rasulullah
menyebut-nyebutnya...
Demikianlah pernikahan nabi
dengan para isteri sahabat-sahabat yang mulia ini
radhaiyallahu ‘anhum ajma’in, dan beliau tidaklah
menikahi mereka melainkan diantaranya adalah sebagai
penghormatan dan pemuliaan kepada Abu Bakr dan
‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Siapakah gerangan
yang tidak menginginkan puterinya dinikahi oleh
manusia terbaik dan teragung sepanjang masa? Siapakah
gerangan yang tidak ingin dinikahi oleh manusia terbaik dan teragung sepanjang
zaman?
Sayyidah Zainab
binti Khuzaimah yang digelari Ummu Masakin
(Ibunya kaum miskin) radhiyallahu ‘anhu adalah isteri kelima
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Beliau adalah janda dari Thufail bin
al-Harits bin ‘Abdul Muthallib yang menceraikannya, lalu
dinikahi oleh sepupu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Salam ‘Ubaidah bin al-Harits yang juga saudara
mantan suaminya, dan beliau syahid pada perang Badar meninggalkan seorang
isteri yang menjadi janda tidak ada lagi yang melindunginya. Maha Besar
Allah, apakah menjaga dan menikahi janda sahabat
dan sepupu Nabi yang syahid merupakan suatu bentuk kelainan seksual dan gila
wanita?!! Apakah suatu bentuk mengikat jalinan
silaturrahim kepada keluarga sahabat dan syahid dengan memberikan
hak-hak pemeliharaan dan perlindungan atasnya adalah suatu
keburukan?!! Dimanakah gerangan akal kaum yang berakal?!! Allahumma,
Sayyidah Zainab pun meninggal beberapa bulan
setelah pernikahannya dengan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam. Semoga Allah meridhainya dan
menjadikannya bidadari surga.
Isteri berikut
Nabi yang mulia adalah Ummu Salamah
radhiyallahu ‘anhu yang nama asli beliau adalah Hindun
bintu Suhail bin al-Mughiroh yang seorang janda dari Abu Salamah ‘Abdullah bin
‘Abdul Asad al-Makhzumi radhiyallahu ‘anhu yang syahid di dalam
peperangan Sariyah Qothn setelah sebelum sebelumnya beliau terluka para
dalam peperangan uhud. Abu Salamah radhiyallahu
‘anhu meninggalkan isteri dan anak yang banyak. Setelah
masa iddah berlalu, Sayyidah Ummu Salamah
radhiyallahu ‘anha dipinang oleh Abu Bakr dan ‘Umar namun beliau
menolaknya. Demikian pula ketika Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam meminangnya, beliau juga menolak. Alasan
penolakan beliau adalah karena beliau adalah
wanita yang sudah tua, banyak anak dan
pencemburu. Mendengar ini, Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa
Salam pun menjawab : “Adapun mengenai sifat pencemburumu semoga Alloh
menghilangkannya, mengenai umurmu yang sudah tua
maka aku sendiri lebih tua darimu, dan
adapun mengenai anak-anakmu yang yatim maka
itu tanggungan Alloh dan Rasul-Nya.” [Lihat
Sunan an-Nasa`i, Kitabun Nikah, Juz VI hal 81; melalui Zaujaat La
‘Asyiqot, op.cit.]. Dalam pembentukan komunitas baru
yang menjadikan keluarga dan perkawinan sebagai
salah satu instrumennya, maka perhatian terhadap
janda dan anak-anak yang ditinggal ayah mereka
yang syahid akibat peperangan adalah suatu
yang sudah semestinya, apalagi kesempatan mendapatkan
kebutuhan sehari-hari di tanah yang gersang
tidaklah semudah yang dibayangkan, tidak heran jika ada yang
menjual manusia dipasar budak demi mencukupi
kehidupan sehari-hari. Langkah Rasulullah yang
juga diikuti para sahabatnya untuk memperhatikan
para janda dan anak-anaknya, tampak dalam
beberapa perkawinan yang kita sebutkan di atas. [Irene
Handono, op.cit]
Adapun mengenai
isteri beliau, Ummu Habibah Ramlah bintu Abi
Sufyan bin Harb radhiyallahu ‘anha, ada
sebuah kisah yang perlu dijelaskan tentang
latar belakang pernikahannya dengan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Ummu Habibah
adalah isteri ‘Ubaidillah bin Jahsyi bin
Khuzaimah, yang turut berhijrah dengan isterinya ke Habasyah
(Abesinia) pada hijrah kedua. Namun terjadi
fitnah dimana ‘Ubaidillah suami Ummu Habibah
murtad keluar dari Islam –wal’iyadzubillah- sedangkan
Ummu Habibah tetap kokoh di atas keislamannya.
Beliau (Ummu Habibah) tidak dapat kembali
ke Makkah dikarenakan ayahanda beliau, Abu Sufyan adalah termasuk
pembesar Quraisy yang senantiasa berupaya
mencederai Nabi dan para sahabat beliau. Seandainya
Ummu Habibah kembali ke Makkah, akan
membahayakan agama dan keadaannya. Oleh karena
itu haruslah memuliakan dan membebaskan Ummu Habibah
dari suaminya yang telah murtad kemudian mati di Habasyah. Lalu Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengirim surat
kepada Najasyi (Negus) Raja Habasyah yang
telah masuk Islam, memintanya untuk menjaga Ummu
Habibah. Setelah hijrahnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam ke Madinah, Najasyi
mengirimkan Ummu Habibah kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam dengan penuh penghormatan.
Ketika Abu Sufyan mendengar bahwa puterinya
dinikahi oleh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
Salam, begitu riang dan gembiranya dirinya
dan mengakui bahwa Muhammad adalah menantu
terbaiknya yang pernah ia miliki, walaupun
ia memusuhi Muhammad dan agamanya... [Thobaqot
Ibnu Sa’d, juz VIII, hal. 109 dst.; melalui Zaujaat Laa ‘Ayisqoot, op.cit.].
Wahai kaum
yang berakal, apakah menyelamatkan seorang wanita
yang tengah bertahan mempertahankan aqidahnya dengan
menikahinya, menjaganya dan melindunginya dari suaminya yang
murtad dan bapaknya yang masih musyrik saat itu merupakan tindakan gila wanita
dan bersyahwat besar??!!! Na’udzubillah!!
Pergunakanlah akal anda wahai
kaum...
Pada tahun ke-5 H. Rasulullah
menikahi, Zainab binti Jahsy, setelah diceraikan
oleh Zaid bin Haritsah yang diangkat anak oleh Rasulullah pada masa
sebelum kenabian, dan dinikahkan dengan kerabat Rasulullah Zainab
yang tentu saja memiliki nasab tinggi di
kalangan Quraisy [dari pihak ibu Zainab adalah sepupuh nabi atau
cucu Abdul Mutholib]. Pada masa itu masalah nasab (keturunan)
sangatlah diperhatikan oleh masyarakat Arab. Pencapaian ketinggian
derajat nasab seringkali diupayakan melalui perkawinan, maka tidak heran jika
satu orang bisa memiliki istri banyak, bukan sekedar karena mereka suka,
tapi para istri memiliki kepentingan sendiri
dengan pernikahan tersebut, termasuk untuk masalah
nasab, apalagi bahwa penghormatan kepada wanita
pada masa itu amatlah rendah. Fenomena tersebut
tldaklah aneh saat itu, karena bangsa lain juga memiliki adat yang tidak jauh
berbeda. Bahkan hingga saat ini masalah keturunan
sangat diperhatikan, terlepas dari pandangan yang
melatar-belakangnya: apakah karena status sosial,
kekayaan, atau kebangsawanan; di kalangan muslim
sebagian memandang nasab berdasarkan kesalehan beragama.
Kembali pada
masalah perkawinan Sayyidah Zainab radhiyallahu ‘anha,
Rasulullah yang ingin merombak adat tersebut, demi
tujuan pokok menyamakan umat manusia di
hadapan Allah (tauhid), mencoba mempertemukan antara
bangsawan dan mantan budak (walaupun sudah diangkat anak), rupanya
hal itu belum mampu meruntuhkan rasa kebangsawanan Zainab
hingga perkawinan tersebut gagal. Namun demikian
tanggung jawab Rasulullah menghendaki beliau untuk menikahinya.
Lain dari pada itu bahwa pernikahan tersebut atas perintah langsung dari Allah,
sebab sebelumnya setiap kali Zaid mengadu kepada
Rasulullah atas sikap Zainab, Rasulullah
menasehatinya agar mempertahankan perkawinannya serta
takut kepada Allah. Dengan begitu, tidak hanya
masalah tanggung jawab Rasulullah mengembalikan
Zainab yang merasa martabatnya telah terendahkan, namun menjadi
panutan hukum bahwa anak angkat tidaklah
sama dengan anak kandung, maka istri yang
telah diceraikannya boleh dinikahi bapak angkatnya.
Namun sebaliknya wanita yang diceraikan oleh
seseorang tidak boleh dikawini anaknya. [Irene Handono,
op.cit.]
Menurut Ibnu Ishaq, seorang dari
sejarawan awal Muslim, Pada tahun ke 6 H. terjadi peperangan antara
kaum Muslim dengan kaun Yahudi Bani Mushthaliq.
Akibat peperangan ini, sebagaimana hukum peperangan yang berlaku saat itu,
mereka yang kalah menjadi tawanan dan budak
bagi pemenang. Diantara mereka yang tertawan adalah
Juwairiyah binti al-Harits, seorang putri
dari al-Harits bin Abi Dlorror pemimpin
Bani Mushtholiq. Sebagai putri seorang terpandang
Juwairiyah tidak rela dirinya dijadikan budak,
maka ia berniat menebus kepada Tsabit bin Qois yang kebetulan saat pembagian
harta rampasan mendapat dirinya. Karena tidak
memiliki harta lagi, maka ia pergi menghadap
Rasulullah agar dibantu melunasi tebusan
tersebut. Rasulullah yang telah mengajarkan kepada para sahabatnya
agar mendidik budak dan kalau bisa
memerdekakan dan menikahinya (lihat bahasan tentang
perbudakan), memberikan contoh dengan memerdekakan
Juwairiyah dan menawarkan pinangannya, ternyata
Juwairiyah mengiyakan. Dengan persetujuan Juwairiyah
ini maka Rasulullah menikahinya, dan dengan
pernikahan tersebut para sahabat mengembalikan
harta rampasan perang, sekaligus memerdekakan ±
100 keluarga. Ibnu Ishaq mengomentari: "Saya tidak pernah melihat
keberkahan seseorang atas kaumnya melebihi
Juwairiyah". [Ibid]
Pada tahun
ketujuh H, terjadi perang Khaibar. Pada
saat penyerbuan ke benteng al-Qomush milik
bani Nadlir, pemimpin benteng ini yaitu
Kinanah bin Rabi' suami Shofiyah binti Hay
terbunuh. Dan istrinya juga istri-istri bani Nadlir yang lain
menjadi tawanan. Dan seperti yang pernah
dilakukan oleh Rasulullah terhadap bani Mushtholiq,
maka Rasulullah menikahi Shofiyah. Menurut keterangan
Shofiyah sendiri, yang diceritakan oleh Ibnu
Ishaq bahwa sebelum kejadian ini ia telah bermimpi melihat bulan
jatuh di kamarnya. Ketika mimpi tersebut diceritakan
kepada suaminya, ia malah mendapat tamparan dan dampratan,
"Itu berarti engkau menginginkan raja Hijaz
Muhammad", kata suaminya. Tentang apakah
harta dikembalikan dan tawanan dibebaskan dengan perkawinan ini,
tidak kami dapatkan keterangan yang jelas,
namun diceritakan bahwa mahar perkawinan tersebut
adalah pembebasan Shofiyyah. Walaupun masih
muda, usia 17 th, tapi sebelumnya Shofiyah
telah menikah dua kali, dengan Salam bin
Misykarn kemudian dengan Kinanah bin Rabi'. [ibid].
Dari dua
perkawinan di atas, dapat kita lihat bahwa
upaya pembebasan perbudakan -akibat peperangan- lebih
menonjol ketimbang masalah lainnya. Di sisi lain dua pernikahan ini semakin
mengokohkan kedudukan Muslim dalam rangka
pembentukan komunitas bersama yang tidak saling
bermusuhan. Selanjutnya, bahwa melihat usia Shofiyah
yang masih 17 th. dan sudah menikah
dua kali, setidaknya menunjukkan bahwa selain masyarakat
Arab, komunitas Yahudi yang tinggal di Khaibar
juga memiliki adat mengawinkan seorang wanita
sejak masih dini. [ibid].
Pada tahun
ketujuh Hijriah ini juga, utusan Rasulullah
ke Iskandariah-Mesir telah datang dengan membawa hadiah dua
orang budak dari Mesir,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar