Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam. membuka lembaran kehidupan rumah tangganya dengan
Aisyah yang telah banyak dikenal. Aisyah laksana lautan luas dalam
kedalaman ilmu dan takwa. Di kalangan wanita, dialah sosok yang banyak
menghafal hadits-hadits Nabi, dan di antara istri-istri Nabi, dia memiliki
keistimewaan yang tidak dimiliki istri Nabi yang lain. Ayahnya adalah sahabat
dekat Rasulullah yang menemani beliau hijrah. Berbeda dengan istri Nabi yang
lain, kedua orang tua Aisyah melakukan hijrah bersama Rasulullah.
Ketika wahyu datang kepada Rasulullah, Jibril membawa kabar bahwa Aisyah adalah istrinya di dunia dan akhirat, sebagaimana diterangkan di dalam hadits riwayat Tirmidzi dari Aisyah :
‘Jibril datang membawa gambarnya pada sepotong sutera hijau kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam., lalu berkata, ini adalah istrimu di dunia dan akhirat.”
Dialah yang menjadi sebab atas turunnya firman Allah yang menerangkan kesuciannya dan membebaskannya dari fitnah orang-orang munafik.
Nasab dan Masa KeciI Aisyab
Aisyah adalah putri Abdullah bin Quhafah bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Tamim bin Marrah bin Ka’ab bin Luay, yang lebih dikenal dengan nama Abu Bakar Ash-Shiddiqdan berasal dari suku Quraisy at-Taimiyah al-Makkiyah. Ayahnya adalah ash-Shiddiq dan Orang pertama Yang mengikuti Rasulullah Isra’ Mi’raj saat orang-orang tidak mempercayainya.
Menurut riwayat, ibunya bernama Ummu Ruman. Akan tetapi, riwayat-riwayat lain mengatakan bahwa ibunya adalah Zainab atau Wa’id binti Amir bin Uwaimir bin Abdi Syams. Aisyah pun digolongkan sebagai wanita pertama yang masuk Islam, sebagaimana perkataannya, “Sebelum aku berakal, kedua orang tuaku sudah menganut Islam.”
Ketika wahyu datang kepada Rasulullah, Jibril membawa kabar bahwa Aisyah adalah istrinya di dunia dan akhirat, sebagaimana diterangkan di dalam hadits riwayat Tirmidzi dari Aisyah :
‘Jibril datang membawa gambarnya pada sepotong sutera hijau kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam., lalu berkata, ini adalah istrimu di dunia dan akhirat.”
Dialah yang menjadi sebab atas turunnya firman Allah yang menerangkan kesuciannya dan membebaskannya dari fitnah orang-orang munafik.
Nasab dan Masa KeciI Aisyab
Aisyah adalah putri Abdullah bin Quhafah bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Tamim bin Marrah bin Ka’ab bin Luay, yang lebih dikenal dengan nama Abu Bakar Ash-Shiddiqdan berasal dari suku Quraisy at-Taimiyah al-Makkiyah. Ayahnya adalah ash-Shiddiq dan Orang pertama Yang mengikuti Rasulullah Isra’ Mi’raj saat orang-orang tidak mempercayainya.
Menurut riwayat, ibunya bernama Ummu Ruman. Akan tetapi, riwayat-riwayat lain mengatakan bahwa ibunya adalah Zainab atau Wa’id binti Amir bin Uwaimir bin Abdi Syams. Aisyah pun digolongkan sebagai wanita pertama yang masuk Islam, sebagaimana perkataannya, “Sebelum aku berakal, kedua orang tuaku sudah menganut Islam.”
Ummu Ruman memberikan dua orang anak kepada Abu Bakar, yaitu Abdurrahman dan Aisyah. Anak Iainnya, yaitu Abdullah dan Asma, berasal dan Qatlah binti Abdul Uzza, istri pertama yang dia nikahi pada masa jahiliyah. Ketika masuk Islam, Abu Bakar menikahi Asma binti Umais yang kemudian melahirkan Muhammad, juga menikahi Habibah binti Kharijah yang melahirkan Ummu Kultsum. Aisyah dilabirkan empat tahun sesudah Nabi diutus menjadi Rasulullah. Ketika dakwah Islam dihambat oleh orang-orang musyrik, Aisyah melihat bahwa ayahnya menanggung beban yang sangat besar. Semasa kecil dia bermain- main dengan lincah, dan ketika dinikahi Rasulullah usianya belum genap sepuluh tahun. Dalam sebagian besar riwayat disebutkan bahwâ Rasulullah membiarkannya bermain-main dengan teman-temannya.
Pernikahan yang Penuh Berkah
Dua
tahun setelah wafatnya Khadijah r.a, datang wahyu kepada Nabi Shallallahu
alaihi wassalam. untuk menikahi Aisyah.
Setelah
itu Rasulullah berkata kepada Aisyah, “Aku
melihatmu dalam tidurku tiga malam berturut-turut. Malaikat mendatangiku dengan
membawa gambarmu pada selembar sutera seraya berkata, ‘Ini adalah istrimu.’
Ketika aku membuka tabirnya, tampaklah wajahmu. Kemudian aku berkata kepadanya,
‘Jika ini benar dari Allah, niscaya akan terlaksana.” Mendengar kabar
itu, Abu Bakar dan istrinya sangat
senang, terlebih lagi ketika Rasulullah setuju menikahi putri mereka, Aisyah.
Beliau mendatangi rumah mereka dan berlangsunglah pertunangan yang penuh berkah
itu. Setelah pertunangan itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. hijrah ke
Madinah bersama para sahabat, sementara istri-istri beliau ditinggalkan di
Mekah. Setelah beliau menetap di Madinah, beliau mengutus orang untuk menjemput
mereka, termasuk di dalamnya Aisyah . Karena cuaca buruk yang melanda Madinah,
Aisyah sakit keras dan badannya menyusut seperti juga dialami orang-orang
Muhajirin.
Menyaksikan
hal itu, Rasulullah berdoa, “Ya
Allah, jadikanlah karni sebagai orang yang mencintai Madinah sebagaimana cinta
kami kepada Mekah, atau bahkan lebih lagi. Sembuhkanlah penghuninya dan
penyakit. Berikanlah keberkahan kepada kami dalam timbangan dan takarannya.
Lindungilah kami dan penyakit, dan alihkanlah penyakit itu ke Juhfah.” Allah mengabulkan
doa Rasulullah, dan cuaca berangsur membaik, sehingga hilanglah penyakit yang
melanda kaum muhajirin. Aisyah pun sembuh dan bersiap-siap menghadapi hari
pernikahan dengan Rasuhillah Shallallahu alaihi wassalam.
Dengan
izin Allah menikahlah Aisyah dengan maskawin lima ratus dirham. Ketika ditanya
oleh Abu Salamah bin Abdurrahman tentang jumlah mahar yang diberikan
Rasulullah:
“Aisyab menjawab, Mahar Rasulullah
kepada istri-irstrinya adalah dua belas uqiyah dan satu nasy. Tahukah kamu satu
nasy itu? Dijawab, Tidak. Kemudian lanjut Aisyah. Satu nasy itu sama dengan
setengah uqiyah, yaitu lima ratus dirham. Maka inilah mahar Rasulullah terhadap
istri-istri beliau.“ (HR. Muslim)
Istri TERCINTA Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam.
Aisyah
tinggal di kamar yang berdampingan dengan Masjid Nabawi. Di kamar itulah wahyu
banyak turun, sehingga kamar itu disebut juga sebagai tempat turunnya wahyu. Di
hati Rasulullah, kedudukan Aisyah sangat istimewa, dan itu tidak dialami oleh
istri-istri beliau yang lain. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin
Malik dikatakan, “Cinta pertama yang terjadi di dalam
Islam adalah cintanya Rasulullah kepada Aisyah.”
Di
dalam riwayat Tirmidzi dikisahkan, “Bahwa
ada seseorang yang menghina Aisyah di hadapan Ammar bin Yasir sehingga Ammar
berseru kepadanya, ‘Sungguh celaka kamu. Kamu telab menyakiti istri kecintaan
Rasulullah’.”
Selain
itu ada juga kisah lain yang menunjukkan besarnya cinta Nabi kepada Aisyah, dan
itu sudah diketahui oleh kaurn muslimin saat itu. Oleh karena itu, kaum
muslimin senantiasa menanti-nanti datangnya hari giliran Rasulullah pada Aisyah
sebagai hari untuk menghadiahkan sesuatu kepada Nabi Shallallahu alaihi
wassalam. Keadaan seperti itu menimbulkan kecemburuan di kalangan istri
Rasulullah lainnya. Tentang hal itu Aisyah pernah berkata :
“Orang-orang berbondong-bondong
memberi hadiah pada hari giliran Rasulullah padaku. Karena itu, teman-temanku
(istri Nabi yang lainnya) berkumpul di tempat Ummu Salamah Mereka berkata, ‘Hai Ummu Salamah, demi Allah, orang-orang
berbondong-bondong mernberikan hadiah pada hari giliranRasulullah di rumah
Aisyah, sedangkan kita juga ingin rnemperoleh kebaikan sebagaimana yang
diinginkan oleh Aisyah.’ Melihat reaksi seperti itu, Rasulullah meminta kaum
muslimin untuk memberikan hadiah kepada beliau pada hari giliran istri
Rasulullah yang mana saja. Ummu Salamah pun telah menyatakan keberatan kepada
Rasulullah. Dia berkata, “Rasulullah berpaling dariiku. Ketika beliau
mendatangi aku, akupun kernbali mernperingatkan hal itu, tetapi beliau berbuat
hal yang serupa. Ketika aku rnenginatkan beliau untuk yang ketiga kalinya,
beliau tetap berpaling dariku, sehingga akhirnya beliau bersabda, ‘Demi Allah,
wahyu tidak turun kepadaku selama aku berada di dekat kalian, kecuali ketika
aku dalam satu selimut bersama Aisyah.” (HR. Muslim)
Sekalipun
perasaan cemburu istri-istri Rasulullah terhadap Aisyah sangat besar, mereka
tetap menghargai kedudukan Aisyah yang sangat terhormat. Bahkan ketika Aisyah
wafat, Ummu Salamah berkata, ”Demi
Allah, dia adalah manusia yang paling beliau cintai setelah ayahnya (Abu Bakar).”
Suatu
waktu, Rasulullah ditanya oleh Amru bin ‘Aash, “Siapakah manusia yang paling engkau cintai?” Beliau
menjawab, “Aisyah!” Amru bertanya lagi, “Dan dari kalangan laki-laki?” Beliau
menjawab, “Ayahnya!” (Hadits muttafaqirn ‘alaihi)
Di
antar istri-istri Rasulullah, Saudah binti Zum’ah sangat memahami keutamaan-
keutamaan Aisyah, sehingga dia merelakan seluruh malam bagiannya untuk Aisyah.
Suatu
hari Shafiyah bin Huyay meminta kerelaan Rasulullah melalui Aisyah, yaitu
sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Aisyah.
“Suatu
ketika Rasulullah enggan mendekati Shafiyah binti Huyay bin Ahthab. Karena itu
Shafyyah berkata kepada Aisyah, ‘Hai Aisyah, apakah engkau dapat merelakan
Rasulullah kepadaku? Dan engkau akan mendapatkan hari bagianku. ‘Aisyab
menjawab, ‘Ya!’ Kernudian Aisyah mengambil kerudung yang ditetesi za’faran dan
disiram dengan air agar lebih harum. Setelah itu dia duduk di sebelah
Rasulullah, narnun beliau bersabda, ‘Ya Aisyah, menjauhlah engkau dariku. Hari
ini bukan hari bagianmu. ‘Aisyab berkata, ‘Ini adalah keutamaan yang diberiikan
Allah kepada dia yang dikehendaki-Nya.’ Aisyah kemudian menceritakan duduk
permasalahannya dan Rasulullah pun rela kepada Shafyyah.”
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa Aisyah sangat memperhatikan sesuatu yang
menjadikan Rasulullah rela. Dia menjaga agar jangan sampai beliau menemukan
sesuatu yang tidak menyenangkan darinya. Karena itu, salah satunya, dia
senantiasa mengenakan pakaian yang bagus dan selalu berhias untuk Rasulullah. Menjelang
wafat, Rasulullah meminta izin kepada istri-istrinya untuk beristirahat di
rumah Aisyah selama sakitnya hingga wafatnya. Dalam hal ini Aisyah berkata,
“Merupakan kenikmatan bagiku karena Rasulullah wafat di pangkuanku.”
Fitnah Terhadapnya
Aisyah
pernah mengalami fitnah yang mengotori lembaran sejarah kehidupan sucinya,
hingga turun ayat Al-Q ur’an yang menerangkan kesucian dirinya. Kisahnya
bermula dari sini. Seperti biasanya, sebelum berangkat perang, Rasulullah
mengundi istrinya yang akan menyertainya berperang. Ternyata undian jatuh
kepada Aisyah, sehingga Aisyah yang menyertai beliau dalam Perang Bani
al-Musthaliq. Saat itu bertepatan dengan turunnya perintah memakai hijab.
Setelah perang selesai dan kaum muslimin memetik kemenangan, Rasulullah kembali
ke Madinah. Ketika tentara Islam tengah beristirahat di sebuah pelataran,
Aisyah masih berada di dalam sekedup untanya. Pada malam harinya, Rasulullah
mengizinkan rombongan berangkat pulang. Ketika itu Aisyah pergi untuk hajatnya,
dan kembali.
Ternyata,
kalung di lehernya jatuh dan hilang, sehingga dia keluar dan sekedup dan
mencari-cari kalungnya yang hilang. Ketika pasukan siap berangkat, sekedup yang
mereka angkat ternyata kosong. Mereka mengira Aisyah berada di dalam sekedup.
Setelah kalungnya ditemukan, Aisyah kembali ke pasukan, namun alangkah kagetnya
karena tidak ada seorang pun yang dia temukan. Aisyah tidak meninggalkan tempat
itu, dan mengira bahwa penuntun unta akan tahu bahwa dirinya tidak berada di
dalamnya, sehingga mereka pun akan kembali ke tempat semula. Ketika Aisyah
tertidur, lewatlah Shafwan bin Mu’thil yang terheran-heran melihat Aisyah
tidur. Dia pun mempersilakan Aisyah menunggangi untanya dan dia menuntun di
depannya. Berawal dari kejadian itulah fitnah tersebar, yang disulut oleh
Abdullah bin Ubay bin Salul.
Ketika
tuduhan itu sarnpai ke telinga Nabi, beliau mengumpulkan para sahabat dan
meminta pendapat mereka. Usamah bin Zaid berkata, “Ya Rasulullah, dia adalah
keluargamu … yang kau ketahui hanyalah kebaikan semata.“ Ali juga berpendapat,
“Ya Rasulullah, Allah tidak pernah mempersulit engkau. Banyak wanita selain
dia.” Dari perkataan Ali, ada pihak yang memperuncing masalah sehingga
terjadilah pertentangan berkelanjutan antara Aisyah dan Ali. Mendengar
pendapat-pendapat dari para sahabat Nabi, bentambah sedihlah Aisyah, terlebih
setelah dia melihat adanya perubahan sikap pada diri Nabi.
Ketika
Aisyah sedang duduk-duduk bersarna orang tuanya, Rasulullah menghampirinya dan
bersabda:
“Wahai Aisyah aku mendengar berita
bahwa kau telah begini dan begitu. Jika engkau benar-benar suci, niscaya Allah
akan menyucikanmu. Akan tetapi, jika engkau telah berbuat dosa, bertobatlah
dengan penuh penyesalan, niscaya Allah akan mengampuni dosamu.” Aisyah
menjawab, “Demi Allah, aku tahu bahwa engkau telah mendengar kabar inmi, dan
ternyata engkau mempercayainya. Seandainya aku katakan bahwa aku tetap suci
pun, niscaya hanya Allahlah yang mengetahui kesucianku, dan tentunya engkau tak
akan mempercayaiku. Akan tetapi, jika aku mengakui perbuatan itu, sedangkan
Allah mengetahui bahwa aku tetap suci, maka kau akan mempercayai perkataanku.
Aku hanya dapat mengatakan apa yang dikatakan Nabi Yusuf, ‘Maka bersabar itu
lebih baik’. Dan Allah pula yang akan menolong atas apa yang engkau gambarkan.”
Aisyah
sangat mengharapkan Allah menurunkan wahyu berkaitan dengan masalahnya, namun
wahyu itu tidak kunjung turun. Baru setelah beberapa saat, sebelum seorang pun
meninggalkan rumah Rasulullah, wahyu yang menerangkan kesucian Aisyah pun turun
kepada beliau. Rasulullah segera menemui Aisyah dan berkata, “Hai Aisyah, Allah
telah menyucikanmu dengan firman-Nya :
“Sesungguhnya orang-orang yang
membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. janganlah kamu kira
bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu.
tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat Balasan dari dosa yang dikerjakannya.
dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam
penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.” (QS. An-Nuur : 11)
Demikianlah
kemulian yang disandang Aisyah, sehingga bertambahlah kemuliaan dan
keagungannya di hati Rasulullah.
Perjalanan Hidup yang Mulia
Pada
hakikatnya, setiap manusia memiliki kelemahan, begitu juga halnya dengan Aisyah,
yang selain memiliki kehormatan dan martabat juga memiliki kekurangan. Dalam
hal ini dia pernah berkata,
“Aku tidak pernah melihat pembuat
makanan seperti Shafiyyah. Dia selalu menghadiahi makanan kepada Rasulullah.
Tanpa sadar aku pernah memecahkan tempat makanan yang dibawa Shafiyyah. Aku
bertanya kepada Rasulullah apa yang dapat dijadikan sebagai tempat yang pecah
itu. Rasulullab menjawab, ‘Tempat diganti dengan tempat dan makanan diganti
dengan makanan.“ (HR. Bukhari)
Aisyah
pernah berkata :
“Halah binti Khuwailid, saudara
perempuan Khadijah, meminta izin kepada Rasulullah. Ketika itu Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam. merasa bahwa cara Halah meminta izin sama dengan
cara Khadijah meminta izin, dan beliau merasa senang atas semua itu. Lalu
beliau berkata, ‘Ya Allah, inilah Halah binti Khuwailid.’ Aku berkata, ‘Apa
yang engkau sebut itu adalab seorang nenek dari nenek-nenek kaum Quraisy, yang
kedua sudut mulutnya merah. Dia telah tua renta ditelan masa.
Semoga Allah memberi untukmu pengganti
yang lebih baik daripada dia.‘ Mendengar itu Rasulullah menjawab, ‘Allah tidak
akan memberikan pengganti yang lebib baik darpada Khadijah. Dia telah beriman
kepadaku ketika orang lain mengingkariku. Dia telah mempercayaiku ketika orang
lain mendustakanku. Dia telah mendermakan harta bendanya untuk perjuanganku
ketika orang lain menolak memberikan harta mereka. Allah telah memberkahiku
dengan putra-putri lewat Khadijah ketika yang lain tidak memberiku anak.” (HR.
Ahmad dan Muslim)
Terdapat
beberapa pendirian yang tegas dan pemecahan problema hukum yang penting, baik
khusus yang berkaitan dengan wanita maupun secara umum yang berkaitan dengan
kehidupan kaum muslimin secara umum. Diriwayatkan bahwa pada zaman dahulu
seorang laki-laki dapat menceraikan istrinya dengan sekehendak hati. Wanita itu
akan kembali menjadi istrinya jika suaminya membujuk kembali dalam keadaan
iddah, sekalipun dia telah menceraikannya seratus kali. Bahkan suami itu
berkata kepada istrinya, “Demi Allah, aku
akan menceraikanmu sehingga engkau menjadi jelas, dan aku tidak akan memberimu
nafkah selamanya”.
Istrinya
menemui Aisyah dan menceritakan. Dia menjawab, Aku menceraikanmu jika iddahmu
hampir berakhir, dan jika engkau telah suci kembali, aku akan merujukmu
kembali. Istrinya menemui Aisyah dan menceritakan masalah yang dihadapinya.
Aisyah terdiarn hingga Rasulullah datang. Beliau pun diam tidak dapat
menyelesaikan masalah tersebut hingga turunlah ayat :
“Talak (yang dapat dirujuki) dua
kali. Setelab itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma‘ruf atau menceraikannya
dengan cara yang baik….” (al-Baqarah : 229)
Dalam
penetapan hukum pun, Aisyah kerap langsung menemui wanita-wanita yang melanggar
syariat Islam. Suatu ketika dia mendengar bahwa kaum wanita dari Hamash di Syam
mandi di tempat pemandian umum. Aisyah mendatangi mereka dan berkata,
“Aku mendengar Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam. bersabda, ‘Perempuan yang menanggalkan pakaiannya
di rumah selain rumah suaminya maka dia telah membuka tabir penutup antara dia
dengan Tuhannya.“ (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah)
Aisyah
pun pernah menyaksikan adanya perubahan pada pakaian yang dikenakan
wanita-wanita Islam setelah Rasulullah wafat. Aisyah menentang perubahan
tersebut seraya berkata, “Seandainya
Rasulullah melihat apa yang terjadi pada wanita (masa kini), niscaya beliau
akan melarang mereka memasuki masjid sebagaimana wanita Israel dilarang
memasuki tempat ibadah mereka.”
Di
dalam Thabaqat Ibnu Saad mengatakan bahwa Hafshah binti Abdirrahman menemui
Ummul-Mukminin Aisyah . Ketika itu Hafsyah mengenakan kerudung tipis. Secepat
kilat Aisyah menarik kerudung tersebut dan menggantinya dengan kerudung yang
tebal.
Hadist yang Diriwayatkan Aisyah
Aisyah
memiliki wawasan ilmu yang luas serta menguasai masalah-masalah keagamaan, baik
yang dikaji dari Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi, maupun ilmi fikih. Tentang
masalah ilmu-ilmu yang dimiliki Aisyah ini, di dalam Al-Mustadrak, al-Hakim
mengatakan bahwa sepertiga dari hukum-hukum syariat dinukil dan Aisyah. Abu
Musa al-Asya’ari berkata, “Setiap kali kami menemukan kesulitan, kami temukan
kemudahannya pada Aisyah.” Para sahabat sering meminta pendapat jika menemukan
masalah yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri. Aisyah pun sering
mengoreksi ayat, hadits, dan hukum yang keliru diberlakukan untuk kemudian
dijelaskan kembali maksud yang sebenarnya. Salah satu contoh adalah perkataan
yang diungkapkan oleh Abu Hurairah.
Ketika
itu Abu Hurairah merujuk hadits yang diriwayatkan oleh Fadhi ibnu Abbas bahwa
barang siapa yang masih dalam keadaan junub pada terbit fajar, maka dia
dilarang berpuasa. Ketika Abu Hurairah bertanya kepada Aisyah, Aisyah menjawab,
“Rasulullah pernah junub (pada waktu fajar) bukan karena mimpi, kemudian beliau
meneruskan puasanya.” Setelah mengetahui hal itu, Abu Hurairah berkata, “Dia
lebih mengetahui tentang keluarnya hadits tersebut.” Kamar Aisyah lebih banyak
berfungsi scbagai sekolah, yang murid-muridnya berdatangan dari segala penjuru
untuk menuntut ilmu. Bagi murid yang bukan mahramnya, Aisyah senantiasa
membentangkan kain hijab di antara mereka. Aisyah tidak pernah mempermudah
hukum kecuali jika sudah jelas dalilnya dari A1-Qur’an dan Sunnah.
Aisyah
adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah sehingga banyak menyaksikan
turunnya wahyu kepada beliau, sebagairnana perkataannya ini :
“Aku pernah melihat wahyu turun
kepada Rasulullah pada suatu hari yang sangat dingin sehingga beliau tidak
sadarkan diri, sementara keringat bercucuran dari dahi beliau.“ (HR. Bukhari)
Aisyah
pun memiliki kesempatan untuk bertanya langsung kepada Rasulullah jika
menemukan sesuatu yang belum dia pahami tentang suatu ayat. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa dia memperoleh ilmu langsung dan Rasulullah sebagaimana
ungkapannya ini :
“Aku bertanya kepada Rasulullah
tentang ayat ‘Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan
dengan hati yang takut….’ (QS. Al-Mu’minun: 60). Apakah yang dimaksud
dengan ayat di atas adalah para peminum khamar dan pencuri?” Beliau menjawab,
‘Bukan, putri ash-Shiddiq! Mereka adalah orang yang berpuasa, shalat, dan
bersedekah, tetapi takut (amal mereka tidak diterima). Mereka menyegerakan diri
dalam kebaikan, tetapi mendahului (menentukan sendiri) kebaikan tersebut.” (HR.
Ibnu Majah dan Tirmidzi).
Aisyah
berkata lagi: “Aku bertanya kepada Rasulullah
tentang firman Allah: ‘Yauma tabdalul-ardhu ghairal-ardha was-samawati. Di
manakah manusia berada, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Manusia berada di
atas shirath.“ (HR. Muslim)
Aisyah
termasuk wanita yang banyak menghafalkan hadits-hadits Nabi Shallallahu alaihi
wassalam, sehingga para ahli hadits menernpatkan dia pada urutan kelima dari
para penghafal hadits setelah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Anas bin Malik, dan Ibnu
Abbas. Aisyah memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki siapa pun, yaitu
meriwayatkan hadits yang langsung dia peroleh dan Rasulullah dan
menghafalkannya di rumah. Karena itu, sering dia meriwayatkan hadits yang tidak
pernah diriwayatkan oleh perawi hadits lain. Para sahabat penghafal hadits
sering mengunjungi rurnah Aisyah untuk langsung memperoleh hadits Rasulullah
karena kualitas kebenarannya sangat terjamin. Jika berselisih pendapat tentang
suatu masalah, tidak segan-segan mereka meminta penyelesaian dari Aisyah. Qasim
bin Muhammad bin Abu Bakar, anak saudara laki-laki Aisyah, mengatakan bahwa
pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman, Aisyah rnenjadi penasihat
pemerintah hingga wafat.
Aisyah
dikenal sebagai perawi hadits yang mengistinbath hukum sendiri ketika kejelasan
hukumnya tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan hadits lain. Dalam hal ini, Abu
Salamah berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang
yang lebih mengetahui Sunnah Rasulullah, lebih benar pendapatnya jika dia
berpendapat, lebih mengetahui bagaimana Al-Qur’an turun, serta lebih mengenal
kewajibannya selain Aisyah.”
Suatu
ketika Saad bin Hisyam menemui Aisyah, dan berkata, “Aku ingin bertanya tentang
bagaimana pendapatmu jika aku tetap membujang selarnanya.” Aisyah menjawab,
“Janganlah kau lakukan hal itu, karena aku mendengar Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam. bersabda tentang firman Allah: ‘Telah kami utus rasul-rasul
sebelummu, dan Kami telah ciptakan bagi mereka istri-istri dan keturunan.’ Oleh
karena itu, janganlah kamu membujang.” Urwah bin Zubeir, salah seorang murid
Aisyah, sangat mengagumi keluarbiasaan penguasaan ilmu Aisyah. Dia berkata,
“Aku berpikir tentang urusanmu. Sungguh aku mengagumimu. Menurutku engkau
adalah manusia yang paling banyak mengetahui sesuatu.”
Aisyah
berkata, “Apa yang menyebabkanmu berpendapat seperti itu?” Dia menjawab,
“Engkau adalah istri Nabi Shallallahu alaihi wassalam dan putri Abu Bakar.
Engkau mengetahui hari-hari, nasab, dan syair orang-orang Arab.” Dia berkata
lagi, “Apa yang menyebabkan engkau dan ayahmu menjadi orang yang paling pandai
dariipada seluruh orang Quraisy? Aku sangat mengagumi kepandaianmu tentang ilmu
medis. Dari manakah engkau mendapatkan ilmu itu?” Aisyah menjawab, “Wahai
Urwah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. sering sakit,
sehingga dokter-dokter Arab dan bukan Arab datang mengobati beliau. Dari
merekalah aku belajar.”
Tentang
penguasaan bahasa dan sastranya, kembali Urwah berkomentar, “Demi Allah, aku
belum pernah melihat seorang pun yang lebih fasih dariipada Aisyah selain
Rasulullah sendiri.” Al-Ahnaf bin Qais berkata, “Aku telah mendengar khutbah
Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Alii bin Abi Thalib. Hingga
saat ini aku belum pernah mendengar satu perkataan pun dari makhluk Tuhan yang
lebih berisi dan baik daripada perkataan Aisyah.” Salah satu contoh
kefasihannya dapat kita lihat dari kata-katanya pada kuburan ayahnya, Abu Bakar
:
“Allah telah mengilaukan wajahmu,
dan bersyukur atas kebaikan yang telah engkau perbuat. Engkau merendahkan dunia
karena engkau berpaling darinya. Akan tetapi, untuk engkau adalah mulia, karena
engkau selalu menghadap untuknya. Kalau peristiwa terbesar setelah Rasulullah
wafat dan musibah terbesar adalah kematianmu, Kitab Allah rnenghibur dengan
kesabaran dan menggantikan yang baik selainmu. Aku merasakan janji Allah yang
telah ditetapkan bagirnu dan ikhlas atas kepergianmu. Dengan memohon dari-Nya
gantimu dan aku berdoa untukmu. Kami hanyalah milik Allah dan kepada-Nyalah
kami kembali. Bagimu salam sejahtera dan rahmat Allah.”
Dari
Aisyah pun sering keluar kata-kata hikmah yang terkenal, seperti :
“Bagi Allah mutiara takwa. Takkan
ada kesembuhan bagi orang yang di dalarn hatinya terbersit kemarahan.
Pernikahan adalah perbudakan, maka seseorang hendaklah melihat kepada siapa dia
mengabdikan putri kemuliaannya.”
Rasulullah Wafat dan Dikuburkan di
Kamarnya
Bagi
Aisyah, menetapnya Rasulullah selama sakit di kamarnya merupakan kehormatan
yang sangat besar karena dia dapat merawat beliau hingga akhir hayat. Di bawah
ini dia melukiskan detik-detik terakhir beliau menjelang wafat :
“Sungguh merupakan nikmat Allah
bagiku, Rasulullab wafat di rurnahku pada hariku dan dalam dekapanku. Allah
telah menyatukan ludahku dan ludah beliau menjelang wafat. Abdurrahman
menemuiku, di tangannya tergenggam siwak, sementara aku menyandarkan beliau.
Aku melihat beliau menoleh ke arah Abdurrahman, aku segera memahami bahwa
beliau menyukai siwak. Aku berbisik kepada beliau, ‘Bolehkah aku haluskan siwak
untukmu?’ beliau memberi isyarat dengan kepala, sepertinya mengisyaratkan ‘ya’.
Kemudian beliau menyuruhku menghentikan menghaluskan siwak, sernentara di
tangan beliau ada bejana berisi air. Beliau mernasukkan kedua belab tangan dan
mengusapkannya ke wajah seraya berkata, ‘Laa ilaaha illahu… setiap kematian mengalami
sekarat (beliau mengangkat tangannya)… pada Allah Yang Maha Tinggi. ‘Beliau
menggenggam tangan dan perlahan-lahan tangan beliau jatuh ke bawab.“ (HR.
Muttafaq Alaih)
Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam. dikuburkan di kamar Aisyah, tepat di tempat beliau
meninggal. Sementara itu, dalam tidurnya, Aisyah melihat tiga buah bulan jatuh
ke kamarnya. Ketika dia memberitahukan hal itu kepada ayahnya, Abu Bakar
berkata, “Jika yang engkau lihat itu benar, maka di rumahmu akan dikuburkan
tiga orang yang paling mulia di muka bumi.” Ketika Rasulullah wafat, Abu Bakar
berkata, “Beliau adalah orang yang paling mulia di antara ketiga bulanmu.”
Ternyata Abu Bakar dan Umar dikubur di rumah Aisyah.
Setelah Rasulullah Wafat
Setelah
Rasulullah wafat, Aisyah senantiasa dihadapkan pada cobaan yang sangat berat,
namun dia menghadapinya dengan hati yang sabar, penuh kerelaan terhadap takdir
Allah, dan selalu berdiam diri di dalam rumah semata-mata untuk taat kepada
Allah. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu
dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah
yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan
Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah berrnaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu,
hai ahlul-bait, dan membersihkan kamu sebersih- bersihnya.” (QS. Al-Ahzab:33)
Rumah
Aisyah senantiasa dikunjungi orang-orang dari segala penjuru untuk menimba ilmu
atau untuk berziarah ke makam Nabi Shallallahu alaihi wassalam. Ketika
istri-istri Nabi hendak mengutus Utsman menghadap Khalifàh Abu Bakar untuk
menanyakan harta warisan Nabi yang merupakan bagian mereka, Aisyah justru
berkata, “Bukankah Rasulullah telah berkata,
‘Kami para nabi tidak meninggalkan harta warisan. Apa yang kami tinggalkan itu
adalah sedekah.”
Semasa
kekhalifahan Abu Bakar, kadar keilmuan Aisyah tidak begitu tampak di kalangan
kaum muslimin, karena dengan jarak waktu wafatnya Rasulullah sangat dekat, juga
karena kaum muslimin sedang disibukkan oleh perang Riddah (perang melawan kaum
murtad). Setelah dua tahun tiga bulan dan sepuluh malam, khalifah pertama, Abu
Bakar, meninggal dunia. Sebelum meninggal, Abu Bakar berwasiat kepada putrinya
agar menguburkannya di sisi Rasulullah. Aisyah melaksanakan perintah ayahnya,
dan ketika Abu Bakar rneninggal, Aisyah menguburkan jenazahnya di sisi Nabi,
kepalanya diletakkan pada sisi pundak Nabi.
Ilmu
Aisyah mulai tampak pada masa kekhalifahan Umar, sehingga para sahabat besar
senantiasa merujuk pendapat Aisyah jika mereka dihadapkan pada permasalahan-
permasalahan yang berkenaan dengan kaum muslimin. Di dalam Thabaqat, dari
Mahmud bin Luhaid, lbnu Saad berkata, “Para istri Nabi banyak rnenghafal hadits
Nabi, namun hafalan Aisyah dan Ummu Salamah tidak ada yang dapat menandingi.
Aisyah adalah penasihat kekhalifahan Umar dan Utsman hingga dia meninggal. Pada
waktu itu, Umar sangat memperhatikan keadaan istri-istri Nabi. Tentang hal itu
Aisyah berkata, ‘Umar bin Khaththab selalu memperhatikan keadaan kami dari
ujung kepala sampai ujung kaki.
Dia
memiliki tempat kurma besar yang selalu diisi buah-buahan dan kemudian
dikirimkan kepada istri-istrii Nabi Shallallahu alaihi wassalam.’ Begitu juga
dengan Utsman bin Affan. Aisyah sangat menghormati Utsman karena kedudukannya
sangat terhormat di hati Rasulullah. Utsman bin Affan memiliki kedermawanan dan
rasa malu yang besar, sehingga Aisyah pernah berkata, ‘Nabi Shallallahu alaihi
wassalam. sangat malu jika bertemu dengan Utsman. Jika Nabi bertemu dengannya,
beliau akan duduk di sampingnya dan merapikan bajunya.’ Ketika Aisyah
menanyakan hal itu, beliau menjawab, ‘Aku merasa malu kepada seseorang yang
kepadanya malaikat sangat malu.”
Di
dalam hadits Nabi, Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah berwasiat kepada Utsman
agar jangan turun dari kekhalifahan jika belum terlaksana dengan sempurna.
Beliau bersabda, “Wahai Utsman, sesungguhnya pada suatu hari nanti Allah akan
mengangkatmu dalam urusan ini. Jika orang-orang munafik menginginkan agar
engkau meninggalkan baju kebesaran yang Allah pakaikan kepadamu, janganlah
engkau melepaskannya.” Beliau mengulang perkataan tersebut tiga kali. Ketika
Utsman meninggal di tangan pemberontak, Aisyahlah yang pertama menuntut balas
atas kematiannya.
Berkaitan
dengan masalah permusuhan Aisyah dan Ali, terdapat hadits dari Aisyah sendiri
yang menetralkan isu tersebut. Aisyah dan Ali memiliki kedudukan yang mulia dan
terhormat, dan tentunya Aisyah tidak akan melupakan bahwa Ali adalah anak paman
Rasulullah sekaligus sebagai suami dari putri Rasulullah. Aisyah pun tentu
tidak akan melupakan kegigihan Ali dalam berjihad di jalan Allah dan menjadi
orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak. Isu pertentangan Ali
dan Aisyah tentu saja tidak beralasan karena Aisyah sangat meyakini kualitas
ilmu dan sifat amanah Ali. Ketika Suraih bin Hani menanyakan kepada Aisyah
tentang mengusap khuffain (penutup kepala) ketika berwudhu, maka Aisyah
menjawab, “Datanglah kepada Ali, karena dia selalu bepergian (safar) bersama
Rasulullah.”
Setelah
Ali wafat, Aisyah senantiasa berada di rumah dan memberikan pelajaran hadits
dan tafsir ayat Al-Qur’an. Aisyah tidak pernah rela membiarkan sepak terjang
Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang banyak bertentangan dengan syariat Islam walaupun
Mu’awiyah senantiasa berusaha menarik simpatik dan kerelaan Aisyah. Suatu saat,
Mu’awiyah mengutus seseorang untuk meminta fatwa kepada Aisyah yang isinya,
“Tuliskan untukku, dan jangan terlalu banyak!” Aisyah menjawab, “Salam
sejahtera buatmu. Aku mendengar Rasululiah Shallallahu alaihi wassalam.
bersabda, ‘Barang siapa yang mencari keridhaan Allah sementara manusia marah,
niscaya Allah cukupkan baginya pemaafan manusia. Dan barang siapa yang mencari
keridhaan manusia dengan kemurkaan Allah, niscaya Allah wakilkan masalah tersebut
kepada manusia. Salam sejahtera untukmu.”
Wafatnya Aisyah
Dalam
hidupnya yang penuh dengan jihad, Sayyidah Aisyah wafat pada usia 66 tahun,
bertepatan dengan bulan Ramadhan, tahun ke-58 hijriah, dan dikuburkan di Baqi’.
Kehidupan Aisyah penuh kernuliaan, kezuhudan, ketawadhuan, pengabdian
sepenuhnya kepada Rasulullah, selalu beribadah, serta senantiasa melaksanakan
shalat malam. Bahkan dia sering memberikan anjuran untuk shalat malam kepada
kaum muslimin. Dari Abdullah bin Qais, Imam Ahmad menceritakan, “Aisyah
berkata, ‘Janganlah engkau tinggalkan shalat malam, karena sesungguhnya
Rasulullah tidak pernah meninggalkannya. Jika beliau sakit atau sedang malas,
beliau melakukannya sambil duduk.”
Aisyah
memiliki kebiasaan untuk memperpanjang shalat, sebagaimana diriwayatkan oleh
Ahmad dan Abdullah bin Abu Musa, “Mudrik atau Ibnu Mudrik mengutusku kepada
Aisyah untuk menanyakan segala urusan. Aku tiba ketika dia sedang shalat dhuha,
lalu aku duduk sampai dia selesai melaksanakan shalat. Mereka berkata,
‘Sabar-sabarlah kau menunggunya.” Aisyah pun senantiasa memperbanyak doa,
sangat takut kepada Allah, dan banyak berpuasa sekalipun cuaca sedang sangat
panas. Di dalam Musnad-nya, Ahmad berkata, “Abdurrahman bin Abu Bakar menemui
Aisyah pada hari Arafah yang ketika itu sedang berpuasa sehingga air yang dia
bawa disiramkan kepada Aisyah. Abdurrahman berkata, ‘Berbukalah.’ Aisyah
menjawab, ‘Bagaimana aku akan berbuka sementara aku mendengar Rasulullah telah
bersabda, ‘Sesungguhnya puasa pada hari Arafah akan menebus dosa-dosa tahun
sebelumnya.”
Selain
itu, Aisyah banyak mengeluarkan sedekah sehingga di dalam rumahnya tidak akan
ditemukan uang satu dirham atau satu dinar pun. Nabi Shallallahu alaihi
wassalam. pernah bersabda, “Berjaga dirilah engkau dari api neraka walaupun
hanya dengan sebiji kurma.”
Di
dalam riwayat lain dikatakan, “Aku
didatangi oleh seorang ibu yang membawa dua orang putrinya. Dia meminta sesuatu
dariku sedangkan aku tidak memiliki apa pun untuk diberikan kepada mereka
selain satu biji kurma. Aku memberikan kurma itu kepadanya, dan ibu itu
membaginya kepada kedua anaknya. Dia berdiri kern udian pergi. Setelab itu
Rasulullab masuk dan bersabda, ‘Barang siapa mengasuh anak-anak itu dan berbuat
baik kepada mereka, maka mereka akan rnenjadi penghalang baginya dari api
neraka.“ (HR. Muttafaq Alaihi).
Ada
juga riwayat lain yang membuktikan kedermawanan Aisyah. Urwah berkata,
“Mu’awiyah memberikan uang sebanyak seratus ribu dirham kepada Aisyah. Demi Allah,
sebelum matahari terbenam, Aisyah sudah membagi-bagikan sernuanya. Budaknya
berkata, ‘Seandainya engkau belikan daging untuk kami dengan uang satu dirham.’
Aisyah menjawab, ‘Seandainya engkau katakan hal itu sebelum aku membagikan
seluruh uang itu, niscaya akan aku lakukan hal itu untukmu.”
Semoga
rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Aisyah dan
semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar